Jawa Barat Zonder Grand Design?

Ali Wardhana Isha

Ketua Pusat Kebijakan Publik DPW PAN Jawa Barat, Executive Director The Sanada Foundation

Tanggal 24 Februari 2013, akan menjadi tanggal kramat bagi masyarakat Jawa Barat. Sebab, pada hari inilah untuk kali pertama masyarakat akan memilih pemimpinnya secara langsung. Bahkan, nama-nama para balon baik yang akan mencoba mengadung untung memperebutkan posisi Jabar I, maupun untuk posisi Jabar II sudah bermunculan.

Sebut saja, nama Ahmad Heryawan, Dede Yusuf, Edi Darnadi, Irianto Syaifudin, Rieke Diah Pitaloka, Dada Rosada, Dedi Supardi, dan nama-nama besar dilevel lokal lainnya. Ironinya, dari nama-nama yang mengemuka, hanya tidak ada satu namapun yang dapat dikatagorikan muda berdasarkan UU kepemudaan, yang mana menyebutkan pemuda adalah mereka yang berada dikisaran usia maksimal 35 tahun, tetapi walaupun demikian kita boleh saja mengklaim ketiga nama ini sebagai bagian dari pemuda yakni Rieke Diah Pitaloka, Dede Yusuf dan Ahmad Heryawan.

Pengklaiman ini, agar sedikit mengurangi rasa maulu kita bahwa ternyata provinsi yang dihuni lebih dari 42 juta jiwa ini, ternyata tidak berhasil melakukan kaderisasi kepemimpinan, ataukah tokoh tuanya belum iklas menyerahkan kepemimpinannya pada kaum muda. I don’t know?

 

Tetapi terlepas, siapa dan dari generasi mana yang akan memimpin Jabar ke depan, yang pasti rakyat Jawa Barat mengharapkan pemimpin yang mempunyai komitmen kuat untuk memajukan Jawa Barat ke depan. Untuk itu, maka gubernur ke depan haruslah seorang manajer yang memahami betul kondisi daerah yang akan dipimpinnya.

Karena itu, pemimpin Jawa Barat mendatang minimal harus memenuhi tiga kualifikasi, bila merujuk pada pendapat Bung Hatta (mantan Wapres), Hal ini, penting untuk diingat oleh masyarakat Jawa Barat, agar tidak menyesal dikemudian harinya. Oleh karena itulah, maka gubernur Jawa Barat mendatang harus seorang tokoh yang bisa menggerakkan demokrasi dan mampu membawa masyarakat bersorak sorai dalam kesejahteraan.

Kata kunci dari pemimpin ini adalah seseorang bisa berpikiran jernih, mampu merumuskan, melihat masalah dan memberi arah apa yang perlu dilakukan di masa depan. Berorientasi pada pemecahan masalah, dan memiliki kecakapan politico managerial –bukan sekadar manajer, dan bukan pula sekadar politikus–bagaimana mengelola perubahan supaya produktif. Selanjutnya, gubernur Jawa Barat harus mampu mengambil keputusan, berani mengambil resiko terhadap keputusannya, dan secara konsisten melaksanakannya sehingga dia memperoleh dukungan semakin lama akan semakin besar selama pemerintahannya.

Sebagaimana, yang digariskan dalam konsepsi kepemimpinan modern, yang memposisikan seorang solidarity makers bukan lagi sekadar tukang pidato tapi juga pendidik rakyat dan memiliki kemampuan yang disebut consensus making/support making. Sehingga, rakyat tidak sebatas terpesona dengan kecakapannya dalam berpidato tetapi akan terpesona pada kemampuannya meyakinkan orang bahwa kita sedang pergi ke arah yang benar.

Dengan kualifikasi tersebut, maka tidak ada alasan lagi untuk menjadikan Jawa Barat sebagai provinsi termaju yang kini telah beralih tahun dari tahun 2010 kini jadi tahun 2013, karena dalam setiap gerak langkah pembangunan selalu dilakukan dengan kecermatan, ketekunan, ketelitian dan memang diperuntukkan bagi kemakmuran serta kesejahteraan rakyat. Peralihan tahun ini, membuktikan bahwa sebenarnya konsep pembangunan di Jawa Barat memang tidak ajeg, alias stagnan.

Sehingga, pengalaman masa lampau (ketika awal reformasi, amandemen UUD), yang diawali dengan ketidakadaannya grand design. Untuk dalam konteks Jawa Barat grand design itu harus terlebih dahulu disepakati sebelum dilangsungkannya pemilihan. Kesapakatan ini, harus didesain bersama antara partai pengusung dengan kandidat yang diusung.

Membangun Jawa Barat, ibaratkan membangun rumah, yang mana pilar pokoknya harus disepakati terlebih dulu. Bentuk kesepakatan itu, terserah mau merupakan consensus builder, solidarity maker, dan politico managerial. Tidak salah, apabila kita berharap pada figur-figur yang kini muncul dalam ranah perbincangan politik menjelang pilkada ini, akan melahirkan kepemimpinan muda yang brilian, pro rakyat, jujur, demokratis, bijak serta mempunyai komitmen tinggi pada kesejahteraan rakyatnya.

Mengingat sejarah telah membuktikan, bahwa kepemimpinan kaum muda sudah dimulai sejak republik ini berdiri. Kita, lihat ada banyak pemimpin muda yang masih dalam usia dini, telah berhasil menjadi pemimpin. Sebut saja, Bung Karno, pada usia 44 Tahun telah menjadi presiden, Bung Hatta usia 43 telah jadi wakil presiden, Sutan Syahrir usia 36 telah jadi perdana menteri, bahkan yang lebih fantastis lagi dalam kontek Indonesia adalah Burhanuddin Harahap, yang dalam usia 32 tahun telah menjadi perdana menteri dan dinyatakan sebagai salah satu kabinet tersukses yang pernah ada di Indonesia. Untuk itulah, sangat tidak beralasan bila ada sebagian masyarakat, yang menyatakan bahwa Jawa Barat kini tidak layak dipimpin oleh kaum muda. Yang jadi persoalannya adalah sejauhmana kaum tua ikhlas menyerahkan kepemimpinan tersebut pada kaum muda.

 

Sebab, yang dibutuhkan oleh provinsi ini sekarang adalah kepemimpinan memiliki kualifikasi sekelas Bung Karno atau Bung Hatta. Namun, ironinya dari sekian balon yang mengemuka kini, kredibilitas kepemimpinannya masih belum optimal, bahkan hingga kini pemimpin dengan kapasitas 10 % dari kelas BK dan BH saja kita tidak ada. Padahal, dari sisi usia Jawa Barat telah lanjut, dan tentu saja telah lahir pemimpin muda yang sedikit mendekati kedua tokoh tersebut.

Peringatan Bung Hatta.

Bung Hatta dalam “Demokrasi Kita” tahun 1960, pernah mengemukakan bahwa system building yang sangat tergantung kepada tokoh, tidak akan lama. Suatu sistem mestinya dibangun available dan workable pada banyak orang. Kalau tergantung pada satu orang, begitu orang itu habis umurnya maka sistemnya juga runtuh. Apa yang diingatkan Bung Hatta pada 1960-an, terjadi lagi pada rezim Soeharto.

Kita mengetahui bahwa begitu Soeharto turun maka keseluruhan sistem yang dibangunnya runtuh. Begitu juga, dengan Provinsi jawa Barat, kepemimpinan mendatang sudah selayaknya tidak tergantung pada tokoh, tetapi pada grand design yang baik, agar proses pembangunan akan selalu berkelanjutan tanpa perlu melalukan recovery terus menerus ketika kepemimpinan berganti.  Hal ini, mutlak agar tidak ada lagi ketergantungan dan selalu mengharapkan sesuatu pada figur seorang gubernur. Dan tradisi ini, selalu berlangsung terus menerus.

Untuk itu, 24 Februari 2012 nanti, rakyat Jawa Barat tidak lagi menggantungkan diri pada figur, yang sudah dikenal dalam ranah publik Jawa Barat. Yang lebih, penting harus dilakukan rakyat adalah sejauhmana visi, misi, dan agenda kerja serta grand design pembangunan Jawa Barat yang akan direalisaikannya selama 5 tahun menjadi nakhoda dari perahu  bernama Jawa Barat.

Grand design itu menjadi panduan gubernur mendatang dalam  mengelola segala potensi daerahnya. Kemampuan ini, akan lahir bila seorang pemimpinnya merupakan orang yang mempunyai kemauan kuat menerapkan sistem pengelolaan manajerial daerahnya berdasarkan sendi-sendi yang dianut oleh sistem “Politic Management Corporate”. Suatu manajemen pengelolaan pemerintahan yang meletakkan konsep manajemen minimalis.

Artinya, manajemen pemerintahan yang mengutamakan semangat efisiensi, efektivitas dan profesional. Kemampuan manajemen ini, akan lahir dari kaum muda yang masih mempunyai idealisme tinggi. Sedangkan, pada kaum tua sistem ini rasanya sulit untuk diterapkan, karena patron pemikiran manajemen mereka telah tercemar oleh sistem masa lalu, yang serba gemuk, panjang dan boros.(*)

 

 

Related posts