(Jangan) Ada Udang di Balik Pemilu

aOleh M. Rizal Supriatna

Anggota FGD Insan Cipta Mandiri (ICM)

 

Setiap kali Pemilihan Umum Calon Presiden dan Wakil Presiden Republik Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (Pemilu Capres dan Cawapres REMA UPI) diselenggarakan, saya belum pernah menggunakan hak pilih, sekalipun memilikinya. Jangankan memilih, bahkan peduli pun saya tidak. Bagi saya, siapapun yang jadi presiden BEM, itu takkan berpengaruh bagi kuliah saya.

Namun demikian, ketidakacuhan itu berubah, sejak sekitar seminggu yang lalu, kawan saya_ Yoga Prayoga, meminta dukungan saya untuk ‘bertempur’ dalam Pemilu REMA UPI dengan cara menyerahkan fotokopi Kartu Tanda Mahasiswa (KTM). Saya yang semenjak resmi menjadi mahasiswa UPI selalu apatis pada urusan yang seperti ini tiba-tiba berubah pikiran. Alasannya tidak lain selain karena kawan saya itu, yang sudah lama saya kenal ‘luar-dalam’ sehingga integritasnya tak perlu lagi saya pertanyakan.

Singkat cerita, mendaftarlah ia sebagai bakal calon kandidat presiden REMA UPI lalu dinyatakan lolos tahap verifikasi persyaratan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) REMA UPI pada 12 Desember 2013. Esoknya, ia dideklarasikan bersama dua pasangan calon lain sebagai calon Presiden dalam Pemilu REMA UPI. Ada semacam rasa haru yang menyelimuti diri saya ketika itu, mengingat bahwa sebelumnya saya saksikan sendiri, betapa ia bersama kawan-kawan tongkrongannya bersusah payah untuk memenuhi persyaratan.

Beberapa hari setelah itu, saya bertemu lagi dengannya, namun dalam suasana yang berbeda. Sangka saya ia sedang bermasalah dalam hal akademik di kampus. Namun setelah cukup lama berbasa-basi, akhirnya ia curahkan isi hati, tentang keheranannya atas berbagai tindakan yang dilakukan oleh KPU REMA UPI. Lantas, apa saja isi keheranan yang ia maksud? Berikut saya kutip surat gugatan yang ia ajukan kepada Dewan Pengawas Pemilihan Umum (DPPU) REMA UPI :

Melalui surat ini, kami pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 (berdasarkan deklarasi KPU REMA UPI) hendak menyampaikan keberatan atas tindakan Komisi Pemilihan Umum Republik Mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (KPU REMA UPI) terkait beberapa hal yang kami pandang janggal dalam penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) UPI tahun 2013-2014. Kejanggalan yang kami maksud akan dipaparkan sebagai berikut :

1.   Pada hari kamis tanggal 12 Desember 2013, oleh KPU REMA UPI kami dinyatakan lolos tahap verifikasi bakal calon Presiden dan Wakil Presiden REMA UPI tahun 2014. Setelah menandatangani Memorandum Of Understanding (MOU), esoknya kami mengikuti acara sosialisasi dan deklarasi calon Presiden dan Wakil Presiden REMA UPI yang hanya dihadiri oleh sebagian kecil mahasiswa UPI.

Pada pukul 21.00 WIB pasca acara sosialisasi dan deklarasi, kami menerima pesan singkat dari seseorang yang mengatasnamakan KPU REMA UPI berisi himbauan agar segera mengumpulkan data riwayat hidup beserta foto yang akan dipasang dalam baliho dan surat suara, paling lambat pukul 23.00 WIB. Karena pemberitahuan mendadak dalam waktu yang tak memungkinkan, akhirnya kami tak mampu memenuhi himbauan tersebut, lalu menghubungi nomor telepon yang mengatasnamakan pihak KPU REMA UPI tadi_yang ternyata adalah ketua KPU REMA UPI sendiri.

Dalam percakapan melalui sambungan telepon, beliau menyampaikan bahwa data riwayat hidup berserta foto harus segera dikirimkan kepada pihak KPU REMA UPI karena tak lama lagi, terhitung sejak tanggal 15 Desember 2013 hingga awal Januari 2014 hendak diselenggarakan acara kampanye. Kami terkejut mendengar pemberitahuan yang sekonyong-konyong itu, mengingat bahwa pihak KPU REMA UPI tak pernah memberikan jadwal penyelenggaraan Pemilu REMA UPI secara tertulis.

2.   Penyelenggaraan kampanye yang hendak digelar semenjak 15 Desember 2013 hingga awal januari 2014 dalam pandangan kami sangatlah bertentangan dengan harapan KPU REMA UPI sendiri yang_sebagaimana diungkapkan ketua KPU REMA UPI dalam sambutannya pada acara sosialisasi dan deklarasi_ingin agar tingkat partisipan (pengguna hak pilih) Pemilu REMA UPI meningkat melebihi angka 30 ribu mahasiswa. Pada tanggal-tanggal itu, para mahasiswa UPI tak mungkin menyerap informasi kampanye secara efektif mengingat bahwa mereka akan lebih fokus pada pekan sunyi dan Ujian Akhir Semester (UAS). Dengan kata lain, berkampanye pada waktu-waktu itu sama dengan berteriak di tengah padang kosong atau cari perhatian di tengah bencana tsunami.

3.   Semenjak dinyatakan lolos tahap verifikasi bakal calon, hingga hari ini kami hanya menandatangani MOU penyelenggaraan Pemilu, tanpa pernah menerima Surat Keputusan (SK) penetapan calon Presiden dan Wakil Presiden REMA UPI. Adapun surat atau dokumen yang kami terima dari pihak KPU REMA UPI tiada lain hanyalah Kompilasi Peraturan KPU REMA UPI tentang Penyelenggaraan Teknis Pemilu REMA UPI dan draf pendaftaran Tim Sukses yang justru kelak akan diberi SK. Orang yang dideklarasikan sebagai Calon Presiden dan Wakil Presiden-nya tak punya SK, tapi Tim Suksesnya akan ber-SK. Ini sungguh ‘luar biasa’.

Setelah itu ia menulis beberapa tuntutan, lalu menutup surat dengan:

Demikian surat ini kami sampaikan untuk dipertimbangkan sebagaimana mestinya. Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan di hati Saudara/i. Kami tak bermaksud mengeruhkan suasana. Menang atau kalah itu urusan kesekian, bahkan kami tak memikirkannya sama sekali. Satu hal yang penting bagi kami ialah pendidikan politik bagi kita semua. Semoga asas LUBERJURDIL/Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur dan Adil dalam Pemilu bukan hanya jadi slogan, tapi pula kita nyatakan.

Setelah membaca kutipan butir-butir gugatan tersebut, sekarang perkenankanlah saya untuk menyampaikan pandangan pribadi mengenai hal ini.

  1. Pemilihan Umum, dimana pun itu berlangsung, tentu adalah perkara yang resmi. Itu artinya hal ini berbeda dengan berpacaran. Dalam urusan yang resmi, segala hal baik itu pemberitahuan, undangan, penetapan keputusan, dan sebagainya haruslah berbentuk surat yang dicap dan ditandatangani, tidak boleh hanya lewat pesan singkat ataupun telepon. Nah, bila dihubungkan dengan poin pertama pada surat gugatan tadi, nampaknya KPU REMA UPI mengganggap bahwa PEMILU REMA UPI tak lebih dari sekedar iseng, sehingga boleh mensosialisasikan segala sesuatunya hanya dengan pesan singkat atau telepon. Beruntung bila yang menerima pesan singkatnya adalah calon. Tapi bila tidak, ini bisa celaka. Dan akan lebih celaka lagi, bila pengirim pesan singkatnya adalah orang yang hanya mengatasnamakan pihak KPU REMA UPI dan yang menerima pun ternyata bukanlah sang calon, hal ini tentu akan jadi parodi.
  2. Ketika seseorang ditetapkan sebagai calon presiden dalam Pemilu REMA UPI, maka ia mesti menerima Surat Keputusan (SK). Hal ini penting agar ketika ia berkampanye, lalu orang-orang bertanya : dasar hukumnya apa sehingga Anda berani mengaku-ngaku sebagai calon?, ia tinggal menunjukkan SK tersebut.

Sayangnya, KPU REMA UPI barangkali terlalu memiliki banyak urusan sehingga lupa memberikan SK, bahkan hingga saat ini. Sungguh sangat patut disesalkan.

  1. Setahu saya_berdasarkan keterangan dari orang-orang yang pernah menjabat sebagai anggota KPU REMA UPI, ketika seorang bakal calon dinyatakan lolos verifikasi dan ditetapkan sebagai calon, maka ia akan menerima SK (sebagaimana telah saya jelaskan), draf tim kampanye, fotokopi Undang-Undang Pemilu, serta yang terpenting : Jadwal Penyelenggaraan Pemilu.

Akan tetapi, seperti yang disampaikan oleh Yoga Prayoga dalam surat gugatannya, jadwal tersebut tak diberikan oleh pihak KPU REMA UPI pasca dirinya dinyatakan lolos verifikasi.

Kabar terakhir menyebutkan bahwa setelah surat gugatan diterima, barulah kemudian KPU REMA UPI mengirimkan jadwal Pemilu, melalui grup facebook (lagi-lagi iseng), dengan penomoran surat yang keliru. Sungguh sangat lucu.

  1. Seperti pula saya pada masa-masa sebelumnya, mayoritas mahasiswa UPI apatis terhadap Pemilu REMA UPI. Tiap tahun_seperti yang diungkapkan oleh ketua KPU REMA UPI dalam sambutannya pada acara deklarasi, pengguna hak suara dalam pemilihan tak lebih dari 10 ribu orang (kurang dari 30% jumlah mahasiswa UPI. Sisanya, lebih dari 70% golput).

Rendahnya partisipasi politik para mahasiswa ini tentu disebabkan oleh banyak faktor. Dan KPU REMA UPI, secara moral memegang amanah untuk meningkatkan partisipasi politik para mahasiswa dengan berbagai cara, sehingga angka golput bisa ditekan seminimal mungkin.

Demi peningkatan partisipasi politik para mahasiswa tadi, tentunya masa kampanye adalah salah satu cara. Dalam masa kampanye, para mahasiswa diberi kesempatan untuk mengenal para calon dalam berbagai hal : track record-nya, visi-misinya, atau minimal wajahnya. Pemaksimalan program kampanye ini akan berdampak pada peningkatan partisipasi politik para mahasiswa.

Oleh karena itu, sebagaimana yang menjadi butir gugatan tadi, kebijakan KPU REMA UPI yang menginginkan kampanye digelar sejak 15 Desember hingga awal Januari adalah keinginan yang bertentangan dengan keinginan mereka sendiri, suatu keinginan yang terkesan buru-buru, seolah mengejar sesuatu, tapi entah apa. Pada hari-hari itu, para mahasiswa akan disibukkan oleh “pekan sunyi” dan Ujian Akhir Semester (UAS), suatu masa yang sangat ‘genting’.

Selama pekan sunyi, jangankan mereka yang kampung halamannya dekat, saya saja yang jauh ingin mudik. Selama UAS, jangankan memikirkan pilihan calon presiden, memikirkan soal-soal ujian saja pusing. Bila KPU REMA UPI tetap memaksakan keinginannya untuk menyelenggarakan kampanye pada masa-masa ini, maka kampanye itu akan jadi kampanye paling ‘unik’ sedunia.

Banyaknya kekeliruan yang dilakukan oleh KPU REMA UPI seperti yang telah dipaparkan diatas, menunjukkan bahwa mereka tak mengerti tentang tanggungjawabnya sendiri. Parahnya, kekeliruan itu adalah kekeliruan yang sifatnya elementer, kekeliruan yang hanya wajar apabila dilakukan oleh para amatiran. Oleh karena itu menurut saya, penggantian unsur pimpinan dalam tubuh KPU REMA UPI adalah sebuah keniscayaan, sebagai sanksi atas ketidakbecusannya dalam mengemban amanah.

Selain itu, sekretariat KPU REMA UPI akhir-akhir ini selalu terlihat sepi. Dari 15 orang anggota, hanya kurang dari lima orang yang stand by  di sekretariat. Ketika surat gugatan dilayangkan, papar salah seorang anggota KPU, bukannya berembug dengan anggota KPU yang lain, ketua KPU REMA UPI justru malah sibuk mengirim pesan dan menelpon seseorang yang entah siapa_seolah mengkonsultasikan komando.  Apakah ini tanda bahwa KPU REMA UPI tak lagi solid? Lalu, bila benar paparan anggota KPU tersebut, siapakah seseorang itu? Kekasihnya-kah? Orang tuanya-kah? Atau siapa?

Kini, surat gugatan yang dilayangkan oleh kawan saya masih dalam proses olah oleh DPPU untuk kemudian dijadikan pertimbangan Majelis Pengawas Pemilu (MPU). Kita tunggu saja hasilnya. Bila tak ada sanksi apa-apa terhadap KPU REMA UPI atas berbagai keteledoran tadi, maka kelak akan menjadi konsekuensi logis apabila publik menilai bahwa ada udang di balik Pemilu. []

 

Related posts