Ironi UPI

aOleh YOGA PRAYOGA

Mahasiswa UPI, aktifis ICM

Ratusan mahasiswa baru Universitas Pendidikan Indonesia termenung. Pasalnya, nasib mereka digantung. Uang SPP yang seharusnya mereka lunasi, sampai saat ini belum terbayarkan. Masa-masa awal kuliah yang semestinya bisa mereka sambut dengan gairah, terenggut oleh tagihan yang membuat hati resah. Bulan Desember adalah batas akhir pelunasan yang diberikan pihak universitas, setelah sebelumnya didemo oleh para mahasiswa. Jika pada batas akhir pelunasan tersebut masih ‘menghutang’, bisa jadi sanksi cuti paksa akan mereka terima.

Di tempat lain, pihak UPI sedang disibukan oleh proyek renovasi selasar mesjid yang oleh banyak mahasiswa dipandang masihlah kokoh. Pihak terkait berdalih, bahwa renovasi dilakukan mengingat adanya kebocoran atap disana-sini. Akan tetapi, sebagian orang menduga bahwa hal itu hanya akal-akalan mencari proyek. Sebagian lain mensinyalir  bahwa hal itu semata-mata bertujuan untuk mempercantik view depan mesjid, agar permintaan sewa gedung untuk pernikahan semakin meningkat.

Dugaan-dugaan itu memang logis. Karena kebocoran atap tentu tidak lantas memerlukan perbaikan hingga fondasi. Analoginya sederhana : Ban mobil anda kempes. Lalu anda membeli mobil baru, kan itu lucu. Ketika ban mobil kempes tentu Anda tak perlu menggantinya dengan mobil baru, cukup tambah angin saja seharga 1000 rupiah. Anda tentu dapat memahami analogi ini dengan mudah. Terlepas dari semua itu, pertanyaan saya, mengapa kemegahan mesjid jauh lebih diutamakan dibanding nasib para mahasiswa tadi, yang kelak diproyeksikan untuk menjadi pendidik, untuk mencerdaskan bangsa ini?

Sebelum lanjut ke permasalahan pokok, ingin saya kutip sebuah riwayat. Suatu kali, Ali bin Abi Thalib ditanya oleh seorang sahabat,”Ali, kenapa engkau lebih memilih untuk memakan roti tanpa selai? Padahal Allah SWT tak melarangmu untuk memakan makanan yang lebih baik dari ini”. Jawab Ali,”Aku tak akan memakan makanan yang lebih baik daripada ini sebelum mampu meningkatkan taraf hidup umatku yang fakir”. Andai pihak UPI meneladani apa yang Ali ucapkan, tentu kalimatnya kurang lebih akan seperti ini,”Aku tak akan bermegah-megahan dengan mesjid ini sebelum para mahasiswa yang nasibnya ditangguhkan itu terselamatkan dari cuti paksa”.

Disini saya tak bermaksud membahas renovasi mesjid secara mendalam. Hal ikhwal yang hendak saya bahas adalah nasib para mahasiswa tadi.

Sistem Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang diberlakukan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tidak membebani para mahasiswa dengan biaya registrasi. Mereka hanya diminta untuk membayar SPP yang disesuaikan dengan tingkat pendapatan orang tua. Akan tetapi, berdasarkan keterangan dari beberapa mahasiswa baru, mereka mengaku ‘dibujuk’ untuk membayar uang sumbangan seikhlasnya kepada pihak BMT UPI dalam rangka membantu mahasiswa lain yang mengalami masalah keuangan.

Saya tak tahu berapa jumlah uang yang terkumpul dari sumbangan tersebut karena pihak BMT UPI tak pernah memberikan laporan pengelolaan keuangan kepada para mahasiswa secara transparan. Meskipun demikian, bila merujuk pada pemberitaan berbagai media beberapa waktu yang lalu ketika dugaan korupsi di UPI santer dibicarakan, tercantum keterangan bahwa BMT UPI menyerap 2 hingga 3 miliar rupiah uang masyarakat per tahun. Itu jelas bukanlah uang yang sedikit.

Di tahun ini, sebagaimana telah disinggung sebelumnya, BMT UPI masih menerima sumbangan dari para mahasiswa (yang tentu menggunakan uang orang tuanya). Konon katanya, uang itu hendak digunakan untuk membantu para mahasiswa yang mengalami kendala keuangan. Kini, puluhan mahasiswa menanti bantuan itu. Tapi kenapa pihak BMT UPI seolah tak mau tahu?

Selidik punya selidik, ternyata BMT UPI dibekukan alias dalam proses audit pihak Inpektorat Jenderal (Irjen). Pertanyaannya, mengapa BMT UPI bisa bersangkut paut dengan pihak Irjen, institusi yang hanya akan bergerak bila menemukan kecurigaan atas penyelewengan wewenang? Apakah hal ini erat kaitannya dengan pengaduan Tim Gerakan Penyelamat UPI tentang dugaan korupsi tempo hari? Tapi, bukankah pihak UPI pernah mengeluarkan pernyataan bahwa berdasarkan hasil audit Irjen, keuangan di UPI baik-baik saja? Kalau baik-baik saja kenapa Irjen masih bekerja sampai saat ini, membekukan BMT UPI sehingga tak kuasa untuk membantu para mahasiswa yang termenung tadi? Berbohongkah UPI? Jika benar berbohong, apakah hanya BMT UPI saja yang bermasalah? Tidakkah yang lain juga? Isola Resort, Dormitory, bukankah itu juga menjadi butir aduan? Bagaimana hasil auditnya?

Saya menjadi bingung. Di satu sisi, para mahasiswa yang nasibnya ditangguhkan menanti bantuan dari kantung BMT UPI, yang sialnya justru tengah bermasalah ketika benar-benar dibutuhkan. Di sisi lain, pihak UPI justru sedang sibuk merenovasi selasar rumah Allah alias mesjid dengan dana yang hampir sebanding uang tunggakkan mahasiswa. Belum lagi perbaikkan jalan di gerbang utama yang sangat mencolok mata. Nasib mahasiswa yang menunggak seolah tidak lebih penting daripada kenyamanan mereka yang bermobil dan terbiasa masuk melalui gerbang tersebut.

Akan tetapi, para mahasiswa yang termenung nampaknya takkan terlalu memusingkan hal-hal diatas (selasar, pembekuan BMT, jalan di gerbang utama). Karena untuk saat ini, yang mereka butuhkan adalah bantuan dana. Dan saya, tak percaya bahwa UPI tak punya uang untuk membantu mereka. Bagi saya, ini hanya soal political will atau ada tidaknya niatan UPI untuk meringankan beban mereka sehingga bisa menempuh studi dengan tenang.

Kalau boleh jujur, sebenarnya saya malu-malu untuk membuat tulisan ini. Karena yang saya kritik adalah lembaga pendidikan yang sepatutnya memberi keteladanan, kampus saya sendiri, yang dipimpin oleh para cendekiawan yang gelar akademiknya berjejer dengan keren. Namun demikian, keberanian muncul dalam diri saya, dengan asumsi bahwa pihak UPI akan berlaku seperti Umar bin Khattab yang selalu gembira bila umatnya memberikan koreksi.

Related posts