JABARTODAY.COM – BANDUNG Adanya ambang batas dalam pemilihan presiden (presidential threshold) diprediksi akan merusak tatanan demokrasi di Tanah Air. Salah satunya adalah tidak menjamin terpenuhinya hak mencalonkan bagi setiap warga negara khususnya yang tergabung ke dalam partai politik.
Hal ini diutarakan Guru Besar Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Muradi, dalam diskusi Outlook Politik 2022 yang diselenggarakan Indonesian Politics Research & Consulting, di Jalan Merdeka, Kota Bandung, Senin (27/12/2021).
Muradi menilai, idealnya ambang batas pencalonan presiden tidak diperlukan. Hal ini penting agar hak setiap warga negara dalam kontestasi politik bisa terjamin.
“Saya melihat dalam tradisi politik ideal semua orang boleh berkontestasi,” cetus Muradi.
Namun ambang batas pencalonan presiden akan menggugurkan jaminan tersebut karena tidak semua partai peserta pemilu bisa mengusung kandidat. Selain tidak menjamin terpenuhinya hak pencalonan presiden, menurut dia hal ini bisa merusak demokrasi lantaran mengundang terjadinya transaksi politik.
“Transaksional politik melalui campur tangan oligarki dalam menentukan kandidat sangat mungkin terjadi, sehingga bisa menurunkan kualitas calon yang diusung. Secara teori betul ambang batas ini menjadikan demokrasi akan dikangkangi oligarki,” kata Muradi.
Walaupun begitu, Muradi berpandangan perlu adanya ambang batas pencalonan presiden demi menggaransi kandidat yang diusung serta menjaga ideologi dari setiap partai. Pasalnya, jika tanpa ambang batas pencalonan presiden, dikhawatirkan partai baru yang ideologi dan rekam jejaknya belum teruji bisa begitu saja mencalonkan presiden.
“Ini garansi saja, supaya capresnya pun punya pengalaman,” ucapnya.
Disisi lain, mengingat banyaknya kepala daerah yang masa kepemimpinan berakhir pada 2022 dan 2023, utamanya di Jawa Barat, pengisi kekosongan jabatan harus benar-benar sosok yang bisa menjaga kondusifitas dan kestabilan di wilayah masing-masing.
Terlebih, pemilihan kepala daerah akan dilangsungkan secara bersamaan dengan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2024. Sehingga dibutuhkan sosok yang berintegritas dan mampu mengisi kekosongan jabatan hingga terpilihnya kepala daerah baru.
Muradi berharap, Kementerian Dalam Negeri mengambil alih langsung pemilihan pelaksana tugas yang bakal mengisi kekosongan jabatan kepala daerah. Karena dikhawatirkan bila provinsi yang menentukan pengisi pelaksana tugas di kabupaten/kota, bisa terjadi kesubjektifan pada pemilihan kepala daerah mendatang.
”Jadi Kemendagri mengolah nama-nama yang diusulkan provinsi sebagai perpanjangan tangan pusat untuk mengisi posisi para plt (pelaksana tugas) dan menentukan sosok yang memiliki integritas juga objektif, sehingga pemilihan pada 2024 bisa berjalan lancar,” ujar Muradi.
Muradi pun menanggapi konstelasi politik pada 2023, khususnya Pemilihan Gubernur Jabar. Dia berpandangan Ridwan Kamil yang saat ini Gubernur Jabar kemungkinan tak akan maju dalam pemilihan mendatang. Hal ini berpotensi memunculkan sosok-sosok baru yang bakal memimpin Tatar Pasundan.
“Yang saya lihat calon-calon yang bakal muncul untuk menggantikan RK (Ridwan Kamil) adalah perempuan. Karena banyak perempuan politik yang mengisi posisi kepala daerah dan memiliki kemampuan sangat baik,” paparnya.
Muradi menyebut beberapa nama yang berpotensial mengikuti kontestasi Pilgub Jabar mendatang. Mereka ialah Bupati Karawang Cellica Nurrachadiana, mantan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany, anggota DPR RI Nurul Arifin, hingga istri Gubernur Jabar Atalia Praratya.
“Berdasarkan survei yang kami lakukan beberapa bulan lalu, mayoritas nama-nama yang muncul adalah perempuan. Hal ini terjadi kalau RK tidak maju kembali dalam pilgub nanti,” jelas Muradi. (*)