Memperoleh pendapatan yang layak memang dapat menunjang kesejahteraan. Karenanya, tidak heran apabila kalangan pekerja dan buruh di Indonesia, khususnya Jawa Barat, menjelang peringatan Hari Buruh Dunia alias May Day, 1 Mei mendatang, kaum buruh di Jabar menuntut naiknya upah. Kenaikannya cukup tinggi, 50 persen. Para pekerja dan buruh beralasan, kenaikan tersebut karena harga berbagai komoditi dan kebutuhan pun mengalami peningkatan cukup tinggi.
Mengomentari hal itu, Ketua DPD Asosiasi Pengusaha Indonesia Jabar Deddy Widjaja sepakat bahwa upah yang layak memang dapat meningkatkan kesejahteraan para pekerja. Akan tetapi, lanjutnya, jika para pekerja dan buruh menuntut kenaikan sebesar 50 persen, hal itu sangat memberatkan para pelaku industri. “Otomatis, beban dan biaya operasional industri makin berat. Soalnya, pada Mei, pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL). Beban makin berat jika tuntutan kenaikan upah sebesar 50 persen terpenuhi,” ujar Dedy, Rabu (30/4/2014).
Dia menyatakan, adanya kenaikan upah dan TDL dapat menyebabkan biaya operasional melejit 30 persen. Situasi itu, sambung Deddy, memicu terjadinya kenaikan harga barang produksi. Menurutnya, hal itu merupakan situasi yang tidak menguntungkan karena dapat melemahkan daya saing.
Dedy meneruskan, harapannya, pihaknya berkeinginan untuk duduk bersama dengan seluruh pihak, baik pekerja atau buruh, pelaku industri, pemerintah, maupun akademisi. “Ini lebih efektif daripada tripartit, yang sejauh ini, perannya masih kurang optimal,” seru Dedy.
Sementara itu, Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Jabar Roy Jinto tidak membantah adanya tuntutan pekerja dan buruh mengenai kenaikan upah. “Tahun lalu, upah naik 30-53 persen, Tahun ini, harapannya, naik 50 persen,” tukas Roy.
Keinginan adanya kenaikan upah itu sangat serius. Buktinya, ungkap Roy, pihaknya siap menyampaikan keinginan dan tuntutan itu melalui aksi unjuk rasa sebanyak dua kali. Rencananya, tutur Roy, aksi pertama di Kota Bandung, diikuti sekitar 1.000 orang pekerja. “Sedangkan aksi kedua kami berencana melakukannya di Istana Negara. Jumlah pekerja dan buruh yang berangkat ke Jakarta sekitar 50.000 orang,” sebutnya.
Hal lain yang menjadi sorotan kalangan pekerja saat May Day yaitu kinerja Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Pihaknya, ujar Roy, menerima sejumlah informasi bahwa tidak sedikit kalangan pekerja dan buruh yang mendapat penolakan pelayanan kesehatan.
“Saat pekerja atau buruh menyatakan sebagai peserta BPJS Kesehatan, tidak sedikit rumah sakit yang mengaku tidak ada lagi tempat karena penuh terisi,” sambungnya. Diutarakan, penolakan itu terjadi pada Pusat Pelayanan Kesehatan (PPK) Tingkat 1 dan Rumah Sakit. (ADR)