Pakar Hukum Tata Negara: Putusan BK Pecat Ketua DPRD Kuningan Batal Demi Hukum

Istimewa

JABARTODAY.COM – BANDUNG Pakar hukum tata negara, Prof I Gede Pantja Astawa menilai, putusan Badan Kehormatan DPRD Kuningan yang merekomendasikan pemberhentian Nuzul Rachdy dari jabatan ketua DPRD Kabupaten Kuningan, batal demi hukum.

Hal itu karena teradu, dalam hal ini Ketua DPRD Kabupaten Kuningan Nuzul Rachdy, tidak hadir saat pembacaan putusan dalam sidang kode etik yang diselenggarakan Senin (2/11/2020).

“Kalau memang faktanya benar, bahwa putusan BK dibacakan tanpa kehadiran teradu, dalam hal ini ketua DPRD, berarti batal demi hukum. Kenapa? Jangankan Alat Keputusan Dewan (AKD) yang namanya BK, kalau kita bandingkan dengan peradilan pada umumnya, tiap putusan harus dihadiri oleh terdakwa. Bahkan, saat membuka persidangan, hakim harus mengatakan sidang terbuka untuk umum, kalau tidak diucapkan bisa batal persidangan,” paparnya, saat dihubungi wartawan melalui sambungan telepon, Selasa (3/11/2020).

Maka itu, seharusnya BK DPRD Kabupaten Kuningan menunda persidangan sampai teradu hadir dalam persidangan.

Apalagi, dia berpandangan, secara hukum putusan BK tidak memiliki kekuatan apapun dan tidak membawa konsekuensi apapun terhadap ketua dewan.

Berita Terkait

“Susahnya sebagai teradu, tidak bisa melakukan perlawanan. Kalau di peradilan umum, seseorang bila dijatuhi hukuman bisa mengajukan banding, kasasi, hingga peninjauan kembali, jika tidak puas dengan putusan hakim,” cetusnya.

Terkait dengan sanksi yang dijatuhkan kepada Nuzul Rachdy, meski masuk kategori sedang, tapi menjurus ke pemberhentian ketua DPRD. Padahal, Gede Pantja Astawa menekankan, BK tidak miliki kewenangan dalam memberhentikan seorang ketua dewan. Lantaran, baik pimpinan maupun anggota DPRD, diangkat oleh gubernur sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat di daerah.

“Logika hukumnya, seharusnya gubernur yang memberhentikan, sehingga ini sangat fatal. Mengapa BK menjatuhkan sanksi sedang? Karena mereka terikat Peraturan DPRD, harusnya peraturannya direvisi, sehingga masalahnya menjadi klir,” tegasnya.

Kasus ini timbul karena adanya ucapan yang multitafsir dari seorang ketua DPRD. Seharusnya, kata dia, BK hanya memberikan teguran keras kepada yang bersangkutan tak perlu ke pemberhentian sebagai ketua dewan. BK, menurutnya, dalam mengeluarkan putusan harus bijak dan tanpa tekanan apapun.

“Kalau yang memberhentikan gubernur pun harus ada alasan jelas. BK tidak memiliki kewenangan, bisa saja teradu tidak mematuhi. Sekarang tinggal apakah akan ditindaklanjuti oleh pimpinan DPRD lain, dalam hal ini wakil ketua, untuk diteruskan ke bupati, yang nantinya oleh bupati diteruskan pada gubernur. Sehingga tinggal keputusan gubernur, bisa saja gubernur membatalkan putusan tersebut, karena batal demi hukum itu,” pungkasnya.

Sebelumnya, BK DPRD Kabupaten Kuningan akhirnya menetapkan keputusan terkait dugaan pelanggaran kode etik Ketua DPRD Kabupaten Kuningan Nuzul Rachdy.

BK merekomendasikan permohonan pemberhentian Nuzul Rachdy dari jabatan ketua DPRD Kabupaten Kuningan.

Nuzul Rachdy dinilai melanggar Pasal 14 angka 2 Peraturan DPRD Kabupaten Kuningan Nomor 2 Tahun 2018 tentang Kode Etik DPRD Kabupaten Kuningan (putusan a quo terlampir).

Nuzul Rachdy dituduh melakukan pelanggaran kode etik dengan mengucapkan kata ‘limbah’ untuk mengungkapkan kasus penyebaran Covid-19 di Pondok Pesantren Husnul Khotimah. (*)

Related posts