Hening Widiatmoko: UMK Bukan Standar Upah

JABARTODAY.COM – BANDUNG

Meningkatkan kesejahteraan para pekerja menjadi pemikiran pemerintah, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Maka itu, tiap tahunnya, pemerintah bersama-sama pengusaha dan dewan pengupahan memutuskan upah minimun kabupaten/kota (UMK).

Penentuannya berdasarkan peraturan pemerintah, yaitu 60 item kebutuhan hidup layak (KHL). Namun kalangan serikat pekerja menilai, ke-60 item itu peruntukannya bagi pekerja lajang.

“Memang benar. Ke-60 item itu bagi pekerja lajang atau mereka yang punya masa kerja 0 tahun,” kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jawa Barat, Hening Widiatmoko, Selasa (6/11).

Ditegaskan Widi-sapaan akrabnya-, bagi pekerja yang sudah menikah atau masa kerja lebih dari 2 tahun, perusahaan diharuskan tidak menjadikan UMK sebagai standar upah. Dikarenakan UMK bukan standar upah. “Mestinya, ada skala upah yang mengacu pada lama kerja dan status pekerja,” harapnya.

Akan tetapi, ungkap Widi, sejauh ini masih sangat banyak perusahaan yang menjadikan UMK sebagai standar upah. “Secara hukum hal itu menyalahi. Ada sanksinya, mulai dari teguran sampai berita acara,” jelasnya.

Meski demikian, tidak mudah untuk menuntaskan masalah itu. Alasannya, seperti diakui Widi, adanya keterbatasan petugas dan bisa saja perusahaan memilih tidak lagi beroperasi setelah menjalani pemeriksaan.

Menanggapi keinginan penyeragaman upah oleh serikat pekerja di Bandung Raya, yang mencakup Kota Bandung, Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Kota Cimahi, dan Kabupaten Sumedang, senilai Rp 2,13 juta, Widi menyebut, hal itu adalah hal yang tidak mungkin. “Sangat tidak mungkin adanya penyeragaman upah. Setiap kota-kabupaten punya kebijakan dan peraturan,” imbuhnya. (AVILA DWIPUTRA)

Related posts