JABARTODAY.COM – BANDUNG
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung mengultimatum Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi Jawa Barat yang menyidangkan perkara korupsi PT Kereta Api Indonesia (PT KAI) yang merugikan negara Rp 100 miliar. Pemicunya, JPU tak kunjung membacakan tuntutan bagi kedua terdakwa, Ronny Wahyudi dan Ahmad Kuncoro.
“Pokoknya saya mau jaksa pada Senin (15/10) telah membacakan tuntutannya,” tegas Sinung Hermawan, ketua majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut, di Ruang Sidang I Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (11/10).
Dengan penundaan tersebut, berarti telah tiga kali jaksa gagal menuntut Ronny dan Kuncoro. JPU Rahman Firdaus sendiri beralasan belum turunnya rencana tuntutan (Rentut) dari Kejaksaan Agung RI sebagai faktor penundaan tersebut. “Kami masih menunggu rentut dari Kejagung, Yang Mulia,” jawab Rahman.
Kuasa hukum Ronny, Wa Ode Nur Zaenab, menduga ada sebuah kepentingan yang bermain dalam perkara tersebut. Cuma saja, dia enggan menyebutkan siapa yang memiliki kepentingan itu. “Wallahualam. Ini hanya dugaan saja. Tapi dilihat dari jeda waktu dan penundaan yang sering, tidak menutup kemungkinan untuk bernegosiasi dan ingin menjatuhkan klien saya,” tuturnya, seusai sidang.
Selain itu, imbuh Zaenab, molornya pembacaan tuntutan membuat pembuatan pledoi atau nota pembelaan bagi terdakwa menjadi sulit. Maklum, nota pembelaan harus didasarkan tuntutan yang dibuat oleh JPU. Belum lagi, faktor psikologis para terdakwa yang menjadi campur aduk. “Ya kita lihat saja Senin nanti,” singkatnya.
Kasus ini berawal saat Ronny menjabat sebagai Direktur Utama PT KAI dan Kuncoro selaku Direktur Keuangan. Keduanya melakukan kerjasama investasi dengan PT OKCM senilai Rp 100 miliar. Dalam perjanjiannya, PT OKCM berjanji akan memberikan keuntungan 11 persen kepada PT KA dalam periode enam, yaitu hingga Desember 2008. Pada akhir perjanjian, PT OKCM harus mengembalikan dana pokok sebesar Rp 100 miliar. Namun pada kenyataannya, PT OKCM tak bisa mengembalikan uang tersebut. Hal itulah yang dianggap oleh Kejati Jabar sebagai tindak pidana korupsi. (AVILA DWIPUTRA)