Era Muhammad, Era Peradaban Multipolar (bagian 1)

Oleh Fathorrahman Fadli

Orang Jawa pasti paham apa arti “Cakra Manggilingan”, apalagi seniman dan Budayawan macam Emha Ainun Najib. Cakra manggilingan maknanya adalah roda berputar. Namun filosofi roda berputar itu tidak berhenti pada perputaran roda semata. Lebih dalam dari itu mengandung filosofi kehidupan kemanusiaan yang dalam.

Dahulu ditahun 1990-an saya dan teman-teman aktifis lainnya lagi keranjingan nonton ceramah Emha Ainun Najib. Ia dikagumi banyak orang, termasuk saya. Pasalnya, kalau Emha menulis, pasti tulisannya nakal, menggelitik kesadaran, hingga kita sering dibuatnya terpingkal-pingkal sendirian seperti orang gila.

Bahkan orang sekelas Profesor Mas Achmad Icksan (Pendiri HMI di Jawa Timur dan Mantan Rektor IKIP Malang)  juga ikut terpesona dan terkagum-kagum. “Ainun itu sangat cerdas sekali, dia itu sangat jenius, mungkin dia orang Indonesia yang paling jenius saat ini, ” katanya kepada saya yang waktu itu menjadi teman diskusi beliau dengan mimik muka serius campur ketawa.

Orang kagum pada Emha itu wajar sekali. Pasalnya kalau Emha membahas sesuatu, ia seringkali menguliti sesuatu itu dengan cara yang tidak biasa. Membahas soal ‘paha’ saja, ia mempretelinya sampai keTuhan segala.  Dan yang paling membuat saya terpatri adalah ceramahnya soal “cakra manggilingan”.

Makna leksikalnya memang roda berputar. Tapi, kata Emha bukan itu semata. Dalam pandangan Emha, kehidupan itu memang berputar, namun kita semua mesti melihat jauh ke belakang putaran roda itu hingga ke penciptaan manusia dan pernik-pernik kehidupannya. Begini penjelasannya:

Kehidupan manusia di abad ini, telah masuk dalam kehidupan ummat Muhammad.  Sejak nabi Muhammad diutus sebagai Rasulullah, sesungguhnya kehidupan manusia di dunia ini telah berlangsung Era Multipolar. Artinya,  di era Muhammad inilah seluruh fenomena peradaban kemanusiaan itu tertampung atau terkumpul.

Era Muhammad adalah bejana kehidupan yang berisi aneka pernik kehidupan yang lengkap sekali, yang masing-masing mengalami polarisasi atau pengkutuban. Nabi Muhammad adalah pemegang ‘remote control’  seluruh fenomena peradaban manusia saat ini. Semua fenomena peradaban itu sudah ada diagnosis dan terapinya di masa lalu, lewat tokoh-tokoh yang ada di dalamnya.

Umat Muhammad diminta untuk menggunakan kecerdasan modern dalam menggali dan memilih hikmah, model, strategi, penyelesaian problem-problem sosial di masyarakat. Kekuatan umat Muhammad terletak pada kecerdasan memilih fenomena peradaban tertentu yang dimasa lalu sudah dicontohkan oleh para Nabi-Nabi pemimpin umat manusia.

Pilihan itu membawa konsekuensi logis yang akan berdampak langsung maupun tidak kepada setiap individu pelakunya.

Polarisasi itu, kata Emha sedikitnya terdapat tujuh polar. Polarisasi pertama  adalah fenomena kehidupan Nabi Nuh, istri, anak dan kaumnya.  Nabi Nuh adalah salah seorang Nabi yang diberi gelar “Ulul Azmi”  yakni nabi/rasul yang memiliki ketabahan yang luar biasa dalam menjalankan kenabiannya. Potret Nabi Nuh adalah gambaran situasi dimana orang-orang hebat, para pembesar negeri itu ingkar kepada nikmat Allah. Mereka merasa bahwa apa yang dia miliki adalah jerih payahnya. Situasi itu juga potret peradaban dimana seorang istri dan anaknya durhaka pada suami dan orangtuanya. Namun kasih sayang yang diberikan Nabi Nuh ditolak sang istri dan anaknya sendiri yang bernama Kan’aan.

Nabi Nuh adalah Nabi dan Rasul yang tabah karena ia berdakwah hingga 950 tahun lamanya, namun sedikit sekali yang berhasil mengimani Allah dan Rasulnya. Batas kesabaran Nuh sebagai manusia memuncak hingga ia berdoa dengan nada putus asa. “Ya Allah! Janganlah Engkau biarkan seorangpun daripada orang-orang kafir itu hidup dan tinggal diatas bumi ini. Mereka akan berusaha menyesatkan hamba-hambaMU, jika Engkau biarkan mereka tinggal dan mereka tidak akan melahirkan dan menurunkan selain anak-anak yang berbuat maksiat dan anak-anak yang kafir seperti mereka”.

Akhirnya Allah mengabulkan doa Nabi Nuh dan banjirpun datang melenyapkan umatnya bahkan istri dan anaknya yang tak mau beriman.

Polarisasi kedua  adalah kehidupan Nabi Ibrahim dan Raja Namrud. Potret kehidupan Ibrahim dimaknai sebagai  sosok politisi dan diplomat yang ulung. Ibrahim adalah puncak kejayaan diplomasi umat manusia, karena dinilai telah mengalahkan Namrud sehingga ia harus menanggung siksa dengan dibakarnya hidup-hidup dengan kayu yang bertumpuk. Namrud kesal dan marah kepada Ibrahim yang telah merusak patung-patung sesembahan raja Namrud dan pengikutnya. Namrud terbukti kalah dengan Ibrahim dalam dialog adu logika mengenai siapa yang merusak patung-patung yang juga menjadi Tuhan-Tuhan Namrud dan pengikutnya.

Ketika Ibrahim ditanya Namrud, “siapa yang merusak patung-patung itu?”.  Namrud tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan dari Ibrahim. Ibrahim malah memerintahkan Namrud agar bertanya kepada patung yuang terbesar. “Tanya saja pada patung yang terbesar?”.  Bagaimana mungkin patung sekalipun paling besar bias diajak bicara. “Sudah gila ini Ibrahim, bakar saja dia,” gumam Namrud.  Tapi disitulah kehebatan Ibrahim: beliau lihai dalam dua kejadian dan itu kemudian menjadi kunci pokok diberikannya gelar bahwa Ibrahim sebagai  puncak diplomasi umat manusia.

Pertama saat Ibrahim memecahkan patung-patung dan mengalungkan kapak itu ke leher patung yang paling besar. Kedua adalah jawaban Ibrahim disaat ia ditanya Namrud soal siapa yang merusak patung-patung itu, “tanyakan saja pada patung yang terbesar”. Logika Namrud langsung buntu dan amarahnya yang dia gunakan dengan perintah membakar Ibrahim. Dibakarlah Ibrahim hingga gosong. Tapi Allah langsung mengangkat Ibrahim seraya berfirman,”Yaa naaru uunie baldan wa salaman ala Ibrahim”. Apipun dingin dan selamatlah Ibrahim. (bersambung…)

Related posts