AKBP Ari Lasta Irawan, SiK, MH
Perwira Siswa Sespimmen Polri Angkatan 56 Tahun 2016
Perang terhadap peredaran narkoba di tanah air terus gencar dilakukan jajaran Polri dan BNN. Dua lembaga yang memiliki kewenangan dalam menindak para pengedar dan bandar narkoba ini tak henti-hentinya mengungkap kasus peredaran barang marah tersebut. dari yang jumlah barang buktinya sedikit hingga bandar kelas kakak. Pandangan yang sama antara penegak hukum (Polri, BNN, Jaksa, dan hakim) menghadapi peredaran narkoba terbukti belum cukup ampuh untuk membuat jera para bandar narkoba. Buktinya vonis ringan hingga hukuman mati terhadapm mereka yang terbukti bersalah tak menurunkan hasrat pengedar untuk terus menjalankan bisnis haramnya.
Untuk membuat jera para bandar besar melancarkan bisnis narkoba adalah dengan mempercepat proses eksekusi terhadap mereka yang divonis hukuman mati. Dengan mempercepat eksekusi mati, akan membuat ‘meringding’ para bandar besar berbisnis narkoba. Hanya saja, vonis hukuman mati terhadap bandar narkoba tersebut selalu terkendala upaya banding atau peninjauan kembali (PK) dari para napi yang divonis mati. Sistem hukum di Indonesia yang mempebolehkan napi hukuman mati melakukan PK berkali-kali menjadi penghalang. Kita tahu Freddy Budiman, bandar narkoba kelas kakap yang tertangkap memiliki 1,4 juta butir pil ekstasi selalu berlindungan di balik PK.
Mengutip pernyataan Deputi Pemberantasan Badan Narkotika Nasional (BNN) Irjen (Pol) Dedi Fauzi El Hakim, selain membuat jera, eksekusi mati juga nembuat para pelaku berhenti melakukan aksinya. Namun, upaya banding atau peninjauan berkali-kali yang dilakukan para bandar tersebut menurut Dedi akhirnya tak membuat jera bandar narkoba. Dedi berpendapat, sistem di hukum Indonesia dengan pengajuan PK berkali-kali membuat bandar narkotika punya peluang untuk mengundur eksekusi. Ini menurutnya yang membuat bandar tak jera. Di Malaysia, penjahat narkoba hanya butuh beberapa hari untuk dieksekusi
Seperti diketahui, Freddy Budiman adalah gembong narkoba yang ditangkap tahun 2009 terkait kasus 1,4 juta pil ekstasi. Freddy sudah divonis mati oleh Mahkamah Agung. Namun ia belum menjalani eksekusi mati. Sebelum dipindahkan dari tahanan Lapas Narkotika Cipinang, Freddy masih dapat mengendalikan barang haram tersebut dari balik bui. Ia juga terkenal karena kasusnya yang meminjam ruang kalapas narkotika Cipinang untuk pesta narkoba dengan model dewasa.
Freddy Budiman, yang ditangkap terkait kasus 1,4 juta pil ekstasi, dipindahkan ke Lembaga Pemasyarakatan Pasir Putih, Nusakambangan, Jawa Tengah dari Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, Sabtu (16/4/2016).
Feddy sudah divonis mati oleh Mahkamah Agung. Namun, hingga saat ini, ia belum juga menjalani eksekusi mati. Jaksa Agung Muhammad Prasetyo memastikan Freddy Budiman tidak masuk daftar terpidana yang akan dieksekusi mati pada eksekusi gelombang tiga mendatang. Alasannya, Freddy hingga saat ini masih dalam proses mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Ini berarti Freddy dua kali lolos dari eksekusi setelah eksekusi mati kedua, 29 April 2015 lalu. Kala itu, alasannya sama seperti alasan Jaksa Agung.
Dalam Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang pada dasarnya mengklasifikasi pelaku tindak pidana (delict) penyalahgunaan narkotika menjadi 2 (dua), yaitu : pelaku tindak pidana yang berstatus sebagai pengguna (Pasal 116, 121 dan 127) dan bukan pengguna narkotika (Pasal 112, 113, 114, 119 dan 129), untuk status pengguna narkotika dapat dibagi lagi menjadi 2 (dua), yaitu pengguna untuk diberikan kepada orang lain (Pasal 116 dan 121) dan pengguna narkotika untuk dirinya sendiri (Pasal 127). Yang dimaksud dengan penggunaan narkotika untuk dirinya adalah penggunaan narkotika yang dilakukan oleh seseorang tanpa melalui pengawasan dokter. Jika orang yang bersangkutan menderita kemudian menderita ketergantungan maka ia harus menjalani rehabilitasi, baik secara medis maupun secara sosial, dan pengobatan serta masa rehabilitasinya akan diperhitungkan sebagai masa menjalani pidana, sedangkan, pelaku tindak pidana narkotika yang berstatus sebagai bukan pengguna diklasifikasi lagi menjadi 4 (empat), yaitu : pemilik (Pasal 111 dan 112), pengolah (Pasal 113), pembawa dan pengantar (Pasal 114 dan 119), dan pengedar (Pasal 129).
Yang dimaksud sebagai pemilik adalah orang yang menanam, memelihara, mempunyai dalam persediaan, memiliki, menyimpan, atau menguasai dengan tanpa hak dan melawan hukum. Yang dimaksud sebagai pengolah adalah orang memproduksi, mengolah mengekstrasi, mengkonversi, merakit, atau menyediakan narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau melakukan secara terorganisasi. Yang di kualifikasi sebagai pembawa atau pengantar (kurir) adalah orang yang membawa, mengirim, mengangkut, atau mentransito narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual atau secara teroganisasi. Sedangkan, yang dimaksud pengedar adalah orang mengimpor, pengekspor, menawarkan untuk dijual, menyalurkan, menjadi pembeli, menyerahkan, menerima, menjadi perantara dalam jual beli. Atau menukar narkotika dengan tanpa hak dan melawan hukum secara individual maupun secara terorganisasi. ***