Warga yang tinggal di seputar PT. Coca–Cola Amatil Indonesia Bottling Unit Jawa Barat, di Jl. Raya Bandung-Garut Km 26 Cimanggung, Kabupaten Sumedang, memprotes langkah perusahaan itu dalam mengekplorasi air untuk pengemasan produk minuman Coca Cola. Selama beberapa tahun terakhir, perusahaan yang berdiri pada 15 Oktober 1983 itu mengambil bahan baku produk minuman dari aliran air di Sungai Cimande, Cimanggung. Padahal, sungai itu merupakan sumber air setidaknya untuk tiga desa di Cimanggung, yaitu Desa Sukamulya, Lingga, dan Desa Cangkuang. Selain digunakan sebagai lokasi serapan air, Sungai Cimande juga merupakan sumber pengairan untuk lahan pertanian di Kec. Cimanggung.
Ketua Komite Masyarakat Peduli Lingkungan Jabar, Jaja Dipraja, mengatakan, dijadikannya air di Sungai Cimande sebagai sumber bahan baku pembuatan produk minuman Coca Cola dilakukan sejak perusahaan itu berdiri.
“Langkah yang dilakukan oleh Coca Cola sangat gegabah. Fasilitas umum tidak bisa digunakan untuk kepentingan pribadi dan perusahaan. Selain itu, untuk mengekplorasi daerah yang menjadi sumber resapan air harus memiliki izin dari Pemprov Jabar,” kata Jaja, Minggu (16/9).
Menurut Jaja, untuk mengetahui duduk persoalan dari langkah yang dilakukan PT. Coca–Cola Amatil Indonesia, Komite Masyarakat Peduli Lingkungan Jabar dan berbagai elemen masyarakat lainnya mendatangi Dinas Pertambangan Energi dan Pertanahan Kab. Sumedang awal pekan lalu. Ironisnya, kata Jaja, Dinas Pertambangan mengaku tak tahu-menahu persoalan itu.
“Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Dinas Pertambangan disebutkan persoalan itu ditangani oleh BKSDA (Badan Konservasi dan Sumber Daya Alam) Jawa Barat,” ujar Jaja.
Keresahan warga terhadap langkah yang dilakukan PT. Coca Cola Amatil Indonesia juga disuarakan Forum Rakyat Bersatu Untuk Keadilan (Forbeka). Ketua Forbeka, Sitam Rasyid, mengungkapkan, saling lempar tanggung jawab dalam menangani persoalan menunjukkan ketidakprofesionalan dalam bekerja.
“Yang justru harus diperhatikan adalah nasib warga. Beberapa tahun terakhir mereka kesulitan air baik untuk konsumsi rumah tangga maupun untuk kebutuhan pengairan lahan pertanian,” ujar Sitam.
Sitam mendesak agar pemerintah segera menyelesaikan persoalan itu. Pasalnya, jika persoalan itu dibiarkan berlarut-larut akibat yang lebih besar lagi bisa saja terjadi.
“Katanya pemerintah memriotaskan pembangunan pertanian. Namun, realitas di lapangan menunjukkan kepedulian pemerintah terhadap nasib petani sama sekali tidak ada,” tandas Sitam.
Sementara itu berdasarkan penelusuran di website PT. Coca Cola Amatil Indonesia, operasionalisasi perusahaan itu terkait dengan perencanan, pengaturan, dan pengontrolan pelaksanaan Quality Assurance System, mulai dari penerimaan raw material, production process, finish product sampai dengan produk di sales centre dan di pasar supaya selalu sesuai dengan standar yang ditetapkan dari The Coca-Cola Company (TCCC). (DEDE SUHERLAN)