Sebagai salah satu tonggak perekonomian, pemerintah, mulai pusat, hingga kabupaten/kota, terus melakukan berbagai upaya untuk mendorong eksistensi dan daya saing koperasi. Hal itu pun dilakukan Pemerintah Provinsi Jawa Barat melalui Dinas Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, Menengah.
Kepala Dinas KUMKM Jabar Anton Gustoni mengakui, keberadaan KUMKM di tatar Pasundan berkontribusi cukup besar bagi PDRB Jabar, yang pada 2011, sebesar 54,20 persen. Disebutkan, hingga tahun lalu, jumlah koperasi mencapai 25.252 unit. Sebanyak 14.042 unit di antaranya, merupakan koperasi aktif, yang jumlah anggotanya mencapai 5.280.000 orang.
Namun, kata Anton, pada era pasar bebas, keberadaan koperasi harus lebih berdaya saing. Sejauh ini, Anton menilai koperasi, khususnya, di Jabar, masih berdaya saing rendah. Karenanya, perlu berbagai upaya untuk terus meningkatkannya.
Anton menyatakan, untuk meningkatkan daya saing koperasi, Jabar perlu mengacu pada Jepang. Diutarakan, lembaga koperasi di negeri Shogun itu jauh lebih maju dan profesional. Di Jepang, koperasi bersistem manajemen usaha yang profesional. “Selain itu, aset maupun omzetnya pun tinggi, mencapai triliunan rupiah,” ujar Anton pada sela-sela dalam Gemaskop di Hotel Karang Setra Bandung, Senin (5/5/2014).
Mayoritas, dituturkan Anton, koperasi di Jepang berbasis produsen. Meski begitu, mereka tidak hanya bergerak pada satu bidang usaha. Basis koperasi lainnya, tambah Anton, yaitu konsumen. Umumnya, lanjut dia, koperasi konsumen di Jepang memiliki toko. Begitu pula dengan koperasi pertanian, yang juga menggeluti sektor peternakan.
Untuk menjalankan roda bisnisnya, Anton mengatakan, koperasi-koperasi di Jepang merekrut manager. Hal itu, sahut dia, dapat membuat sistem manajemen koperasi di Jepang berlangsung lebih profesional. “Sedangkan pengurus koperasi, fungsi dan perannya sebagai komisaris atau pemilik. Kewenangannya hanya memberi saran, usul, termasuk kritik,” jelas dia.
Lalu, bagaimana dengan koperasi di Indonesia, termasuk Jabar? Anton menyatakan, koperasi di negeri ini memiliki aset yang jauh lebih kecil daripada Jepang. Rata-rata, sebut dia, nilainya mulai puluhan juta hingga miliaran rupiah.
Untuk itu, cetus dia, untuk mendorong keberadaan dan daya saing koperasi, pihaknya menjalin kerjasama dengan Kementerian Perindustrian. Tujuannya, terang dia, mendorong sertifikasi ISO bagi koperasi. “Memang, biaya sertifikasi tergolong mahal, sekitar Rp 150-200 juta. Tapi, sertifikasi adalah hal penting untuk meningkatkan daya saing,” ucapnya.
Peningkatan daya saing pun, kata Anton, tidak hanya sistem manajerial, tetapi dalam hal SDM (Sumber Daya Manusia) koperasi. Agar lebih berkembang dan berdaya saing, “Terlebih, pada 2016, Indonesia terlibat dalam AEC (ASEAN Economic Community),” sahut Anton.
Untuk itu, Anton menyarankan koperasi-koperasi di Jabar supaya lebih mandiri. “Jangan memiliki kebergantungan besar pada program-program pemerintah,” tutupnya.(ADR)