JABARTODAY.COM – BANDUNG
Setiap aspek kehidupan bisa dipastikan membutuhkan energi. Indonesia sendiri menjadi salah satu negara penghasil energi terbesar di Indonesia. Ironisnya, hampir sepertiga penduduk negeri ini tak dapat merasakan melimpahnya energi itu. Faktanya, sekitar 100 juta jiwa belum bisa menikmati aliran listrik.
Ironi itu manjadi salah satu poin penting yang disampaikan mantan Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) Dr Kusmayanto Kadiman saat menjadi pembicara tunggal pada kuliah perdana Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran (Unpad) bertajuk “Aspek Sosial Diversifikasi Energi” di Graha Sanusi Hardjadinata, Jalan Dipati Ukur 35 Bandung, Selasa (13/9). Berbicara di hadapan 4.900 mahasiswa baru program doktor dan magister, mantan Rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) ini mengungkapkan lemahnya dukungan politik terhadap program diversifikasi energi di Indonesia.
Padahal, kata Kusmayanto, pertumbuhan ekonomi suatu negara sejatinya membutuhkan pertumbuhan energi. Secara teori, pertumbuhan ekonomi sebesar 6,9 persen menuntut pertumbuhan energi tidak kurang dari 9 persen. Tanpa itu, maka pertumbuhan tak akan berhasil.
“Pada masa kampanye pemilihan presiden lalu, tidak ada satu pun kandidat yang memasukan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) dalam programnya. Padahal, PLTN ini jauh sangat menguntungkan dibanding pembangkit listrik lainnya,” tegasnya.
Kusmayanto yang kini menjadi Ketua Harian Dewan Penyantun Unpad ini memberikan ilustrasi menarik tentang anomali tata kelola negara dewasa ini. Menurutnya, hubungan ekonomi dan politik bisa diilustrasikan sebagai kuda dan pedati; kuda berperan sebagai ekonomi dan pedati adalah kuda. Idealnya, ekonomi akan menuntut kemajuan politik, bukan sebaliknya.
“Sampai kapan pun kuda tak bisa mendorong pedati. Itu kebalik. Negara kita sudah salah dalam tata kelola,” ujarnya lagi.
Parahnya lagi, ekonomi Indonesia tumbuh untuk membiayai politik. Akibatnya, politik tidak bisa berbuat banyak manakala bertentangan dengan kepentingan ekonomi. Diversifikasi energi yang diyakini mampu menjadi daya ungkit percepatan ekonomi tidak bisa berkembang akibat ditelikung politik yang sudah terlebih dahulu “dikendalikan” ekonomi.
“Bagaimana mau punya power bila yang akan diaturnya adalah mereka yang selama ini memberinya makan. Ini sudah tidak karuan,” ujarnya miris.
Ilmuan yang dikenal akrab dengan masyarakat ini bercerita ihwal anjing Kintamani peliharaannya. Anjing tersebut diberi nama Blacky sesuai waranya yang hitam. Si Blacky ini tiap harinya diurus seorang pembantu di rumah Kusmayanto. Suatu hari, Kusmayanto tengah asyik bermain dengan binatang kesayangannya itu. Tiba-tiba pembantunya memanggil Blacky, anjing khas Pulau Dewata pun langsung menghambur menuju si pembantu.
“Bagi anjing saya, pembantu saya itulah yang memberinya makan setiap hari. Kepada dialah si Blacky akan menurut,” ungkapnya mengilustrasikan.(njp)