
JABARTODAY.COM – BANDUNG Tim Penasehat Hukum Efran Helmi Juni mengatakan, tudingan terhadap kliennya melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus korupsi proyek pengadaan lahan ruang terbuka hijau (RTH) di Pemerintah Kota Bandung, harus dibuktikan lewat tafsir hukum yang berlaku.
“Terdakwa diduga menyamarkan asal usul, sumber kepemilikan atas harta kekayaan dengan cara melakukan pembelian aset dan penyimpanan uang lewat simpanan ďi bank, itu tidak benar,” ungkap Efran, di Pengadilan Tipikor Bandung, usai sidang lanjutan korupsi RTH, Rabu (31/3/2021).
Penasihat hukum Dadang Suganda ini, melanjutkan pihaknya akan mengajukan keberatan karena menilai sangkaan korupsi pencucian uang itu tidak tepat dan berlebihan.
“Kami keberatan dengan dakwaan PU KPK. Kami akan hadirkan saksi-saksi yang dapat menjelaskan dakwaan penuntut umum,” kata Efran.
Ia berpendapat perbuatan yang dituduhkan PU KPK salah sasaran yang mestinya dituduhkan pada penyelenggara negara.
“Sudah sejak awal saya katakan, ini persoalan jual beli tanah yang dilakukan swasta. Sehingga, dakwaan terkait TPPU kurang tepat. UUnya berbeda meski punya kewenangan,” tutur Efran.
Dalam kasus ini, Penuntut Umum KPK menjerat Dadang Suganda dengan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, untuk mendakwanya dengan Pasal Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Namun dalam pandangan Penasehat Hukum Anwar Djamaluddin, pada akhirnya pembuktian TPPU tidak perlu pembuktian atas tindak pidana asalnya.
Dengan berdasarkan uraian, seperti yang sampaikan saksi ahli mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Yunus Husein menjawab pertanyaan Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi, terkait TPPU di korupsi ruang terbuka hijau (RTH) di Pemerintah Kota Bandung,
secara yuridis kiranya dapat menjadi penekanan dalam praktik penegakan hukum TPPU tidak lagi terjadi perbedaan kesepahaman.
“Penegakan hukum TPPU menunggu terbuktinya tindak pidana asal melalui putusan pengadilan. Maka, demi menghindari terjadinya perbedaan putusan pengadilan, sebaiknya dalam penanganan TPPU digabung dengan tindak pidana asalnya. Ini lebih memberi kepastian dan perlindungan hak asasi terhadap seseorang yang diduga melakukan TPPU,” pungkas Anwar.
Untuk diketahui, sidang lanjutan perkara korupsi ruang terbuka hijau (RTH) Kota Bandung, kembali digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Bandung, pelaksanaannya tertunda. Sidang baru dimulai Rabu mala hari , sekira pukul 18.45 wib (31/3/2021).
Dalam sidang kali ini, penuntut umum (PU) menghadirkan dua saksi ahli. Hal itu sebagaimana disampaikan oleh koordinator Penuntut Umum Komisi Pemberantasan Korupsi (PU KPK) Haerudin.
Haerudin menjelaskan, seorang saksi berasal dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Sedang satu orang lainnya adalah Yunus Husein yang merupakan mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)
Keduanya memberikan kesaksian sesuai dengan kapasitas masing-masing.
Dari ahli LKPP, PU KPK hanya mendapat jawaban tertulis yang dibacakan majelis hakim, dalam kaitan memperdalam proses pengadaan lahan tanah yang menggunakan dana APBD. Apakah dibenarkan secara sistem pengadaan barang dan jasa atau tidak.
Untuk Yunus Husein yang menjadi saksi ahli tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang mengindikasi perputaran uang di perbankan yang menjadi tempat terdakwa Dadang Suganda memutarkan uang simpanannya, melalui transfer Real Time Gross Settlement (RTGS), untuk transfer antara bank supaya mempercepat transferan ke rekening penerima.
Penuntut Umum bertanya kepada Yunus Husein, tentang jenis transaksi yang biasanya dilakukan untuk pencucian uang.
Menurut Yunus, transaksi bisa disebut mencurigakan jika nominalnya jauh melebihi penghasilan pelaku transaksi tersebut.
“Transaksi seperti diatas itu menyimpang. kalau misalnya laporan transaksi tunai, di pecah-pecah,” ujar Yunus.
“Tapi transaksi mencurigakan dengan tindak pidana pencucian uang itu hal berbeda,” tambah Yunus. (*)