Cium Tangan, Tradisi Lebaran Keluarga Besar Muhammad Kasim

Keluarga besar penulis Muhammad Kasim saat menggelar tradisi cium tangan di kediaman salah satu anggota keluarga itu di Jalan Banda, Kota Bandung, Selasa (21/8). (JABARTODAY.COM/AVILA DWIPUTRA)

JABARTODAY- BANDUNG

Setiap keluarga memiliki cara merayakan Idul Fitri, tidak terkecuali bagi keluarga besar penulis Muhammad Kasim. Istilah salam tempel yang berarti memberikan duit, mereka lakukan dalam arti sebenarnya. Tradisi yang selalu dilakukan pada saat Lebaran itu, mereka sebut “cium tangan”. Kegiatan itu terlihat ketika disambangi di kediaman mereka di Jalan Banda, Kota Bandung, Selasa (21/8).

Puluhan anak kecil hingga dewasa mengantri di depan orang yang akan memberikan duitnya kepada mereka, dari pecahan 2000 rupiah hingga 100 ribu rupiah. Hanya saja, acara ini dikhususkan bagi anggota keluarga atau kenalan mereka. Sebenarnya, tradisi tersebut belum ada ketika sang penulis, Muhammad Kasim, masih hidup. Kegiatan itu baru muncul, sekitar 20 tahun terakhir. Kegiatan yang diprakarsai oleh salah seorang anak almarhum, yang menginginkan adanya kemeriahan dalam perayaan Lebaran di keluarga tersebut, dikhususkan untuk diikuti anak kecil atau yang belum menikah dan bekerja.

Seperti diutarakan oleh Etty Darisan (68), anak perempuan almarhum, pembagian uang dengan cara mencium tangan tersebut, hanya bagi anak kecil atau yang belum menikah. Tidak ada batasan pemberian uang, semampu orang yang akan memberikan. Namun, dalam perjalanannya, untuk memeriahkan, kadang orang yang sudah menikah dan bekerja, ikut mengantre dan berebut mencium tangan sang pemberi uang. “Ya bukan tradisi juga, hanya sekadar agenda tahunan. Buat anak-anak kecil, cucu-cucu atau ponakan,” ujarnya, di sela-sela kegiatan, Selasa siang.

Cium tangan sendiri dahulunya dimulai dari istri almarhum, Fatimah Kasim, dan berlanjut ke anak pertama hingga terakhir, kemudian cucu pertama hingga yang telah bekerja. Namun, sepeninggal Fatimah, dimulai dari anak pertama, dan nominal yang dibagikan berbeda-beda, sesuai dengan kemampuan sang pemberi. Biasanya tradisi ini dilakukan di hari pertama Idul Fitri. Hanya saja setelah meninggalnya Fatimah, dilangsungkan pada hari ketiga Lebaran. “Ya untuk memberi ke yang laen, silaturahmi ke keluarga masing-masing, buat yang udah punya istri atau suami,” jelas Etty.

Meski terlihat mewah, namun ada makna dilangsungkan acara ini, yaitu mendekatkan anak-anak dengan ponakan, serta cucu/cicit almarhum, yang juga memprakarsai berdirinya Masjid Istiqamah, yang berada di Jalan Ciliwung. Hal itu dikatakan anak lelaki almarhum, Edwin Kasim (70), dalam kata-kata sambutannya di depan puluhan anggota keluarga. “Ini sebagai ajang silaturahmi, biar ponakan, cucu atau cicit, saling kenal satu sama lain,” kata Edwin.

Wajar Edwin mengungkapkan hal tersebut, karena besarnya keluarga itu membuat seluruh anggota keluarga tidak dapat berkumpul dalam satu atap. Sebagian keluarga berada di Jakarta hingga Bali. Maka itu, hanya momen Lebaran seperti ini yang dapat menyatukan mereka. Meski tidak semeriah dulu, diakibatkan berpulangnya sang ibunda mereka, acara tersebut masih ditunggu-tunggu, khususnya bagi anak kecil yang ingin mendapatkan duit untuk jajan mereka. “Yang penting masih bisa kumpul,” tegas Emi Kasim, salah satu anak almarhum.

Emi juga berharap agar acara ini tetap ada, agar silaturahmi antar keluarga terus berjalan. Acara ini juga diselingi dengan musik dan makan bersama, yang mayoritas menunya adalah masakan Padang, daerah asal sang penulis. Kegiatan dimulai sekitar pukul 13.00 WIB hingga 16.00 WIB. (AVILA DWIPUTRA)

Related posts