Oleh. Fathorrahman Fadli
Saya terbilang seorang pembaca yang mengagumi John Naisbitt: seorang ekonom sekaligus futurolog terkemuka dunia. Bagi saya ia sangat cermat dalam memotret perkembangan dan trend dunia lengkap dengan analisis sosio ekonometriks-nya.
Bukan hanya itu, ia juga piawai dalam mengungkit relasi antara kekayaan khasanah cultural suatu bangsa dengan dinamika perekonomiannya. Saya membaca karya Naibitt sejak Megatrends hingga buku terbarunya, “China’s Megatrends”.
Membaca buku Naisbitt, selalu merangsang tumbuhnya imajinasi. Mungkin juga caci-maki, ketika kita berusaha melakukan komparasi non-tendensial dengan realitas bangsa kita saat ini.
Lalu sering juga saya bertanya, “Kenapa profesor-profesor yang pinter-pinter yang kita punya itu tidak kita beri kesempatan untuk memerintah?”
Mengapa pula kita memberikan kepercayaan kepada orang yang kualitasnya “mediocre”. Sudah kualitasnya ‘mediocre” sering bertingkah pula…dengan korupsi, memperkaya diri dan seterusnya. Sudah begitu, sok kuasa lagi! Sudah begitu, dia tak tahu apa yang mesti dilakukan di saat ia berkuasa. Orang Batak bilang, “Baah…apa pula ini, lengkap pula penderitaanku!
Naisbitt melukiskan kemajuan China hari ini, sebagaimana ia ceritakan dalam China’s Megatrends’ dengan 8 pilar. Pertama, emansipasi pikiran. Kedua, menyeimbangkan Top-Down dan Buttom up. Ketiga, Membingkai hutan dan membiarkan pepohonan.
Keempat, Menyeberangi sungai dengan merasakan bebatuan. Kelima, persemaian artistik dan intelektual. Keenam, bergabung dengan dunia. Ketujuh, kebebasan dan keadilan. Ke delapan, dari medali emas olimpiade menuju hadiah nobel.
Trend kelima, persemaian artistik dan intelektual cukup kuat menyergap dalam benak saya selaku pembaca. Dan, nampaknya perlu kita diskusikan lebih lanjut. Naisbitt melukiskan dan menjadikan sinergitas seniman dan intelektual itu menjadi pilar penting kemajuan China seperti yang kita lihat hari ini.
Mengapa?
Karena sejak awal, pemimpin China Deng Xiaoping meletakkan garis yang tegas dengan berkata, ”Kita harus membangun dua peradaban: yaitu peradaban material dan peradaban spiritual. Keriangan artistik dan intelektual di China hari ini merefleksikan luapan energi peradaban spiritual itu”.
Pemikiran visioner Deng Xiaoping ini dinilai Naisbitt telah menginspirasi proses transisi ekonomi China. Sedangkan imajinasi dan kreatifitas seniman China menyiapkan lahan yang subur bagi tumbuhnya kreatifitas dibidang lainnya. Karena itu ia berkesimpulan bahwa tidak ada masyarakat yang berubah lebih baik tanpa adanya intelektual dan seniman dalam barisan terdepannya.
Lalu bagaimana dengan bangsa Indonesia? Sudahkah kaum intelektualnya bersinergi dengan kaum seniman-senimannya. Sudahkah menjadikan seniman Indonesia dan intelektualnya sebagai garda terdepan untuk perubahan masyarakat yang lebih baik.
Saya berkeyakinan jawabannya belum. Masih jauh panggang dari api. Karena susunan kabinet disusun berdasarkan kepentingan politik, berdasarkan ketakutan kekuasaannya diganggu, berdasarkan kepentingan meraih rente dan kue manis kekuasaan.
Kekuasaan disusun berdasarkan semangat ‘perutisme’ dan ‘syahwatisme’. Kita semua lupa bahwa keinginan untuk menciptakan kemajuan masyarakat yang baik hendaknya dihendaknya dimulai dengan menyusun kekuasaan secara kualitatif.
Kekuasaan hendaknya base on scientific, bukan karena balas jasa atau karena tim sukses. Negara yang baik mesti dikelola dengan menggunakan ilmu yang baik dan mutakhir. Sehingga penguasa yang tampil adalah penguasa yang memimpin dengan logika, menghaluskannya dengan seni.
Oleh sebab itu, saya anjurkan kepada para professor untuk jangan hanya berpangku tangan dan puas diri dengan hanya bicara diseminar. Seolah dengan itu persoalan bangsa sudah selesai. Tidak saudara profesor! Ayo.. anda bisa jadi presiden, anda bisa jadi gubernur, anda bisa juga jadi Bupati: bertarunglah!