BRTI: Majelis Hakim Mensyahkan Kekeliruan Paham Jaksa

aaJABARTODAY.COM – JAKARTA
Setelah mendengarkan putusan sidang pengadilan tipikor, Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menyatakan sangat kecewa dengan vonis yang dijatuhkan kepada Indar Atmanto.

“Tentu sangat kecewa karena Majelis Hakim mengabaikan beberapa hal yang amat penting,” tegas Komisioner BRTI, Nonot Harsono kepada Jabartoday.com, Senin (8/7/2013).

Menurut Nonot, dalam putusannya majelis Hakim tampak tidak memahami kerangka regulasi telekomunikasi dengan sama sekali tidak menggunakan PP Nomor 52  Tahun 2000 yang mengatur tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi yang di dalamnya mengatur hubungan antara penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi.

“Padahal PP 52 tahun 2000 adalah dasar hukum yang memerintahkan penyelenggara jasa ber-PKS dengan Penyelenggara Jaringan di mana salah satu jaringan itu adalah Jaringan seluler yang beroperasi di pita 2.1GHz. Majelis Hakim menyatakan PKS itu perbuatan melawan hukum, sedangkan PP-52-thn-2000 memerintahkan 2-pihak untuk ber-PKS,” ungkap Nonot.

Ditegaskan Nonot, Majelis Hakim keliru memahami maksud Pasal 9 ayat (2) dari UU Telekomunikasi; dan Penjelasannya. Majelis Hakim mengikuti 100% pemahaman JPU bahwa PT IM2 wajib memiliki izin Jaringan.

“Pemahaman ini tentu amat fatal. Bagaimana mungkin perusahaan yang ingin menyelenggarakan jasa dipaksa harus memiliki Jaringan telekomunikasi. Tentu ini amat bertentangan dengan bunyi Pasal 9 ayat (2) yang menyatakan bahwa penyelenggara jasa dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau menyewa jaringan milik penyelenggara jaringan telekomunikasi”, tuturnya.

Dalam penjelelasan Pasal 9 Ayat (2) dijelaskn bahwa  Penyelenggara jasa telekomunikasi yang memerlukan jaringan telekomunikasi dapat menggunakan jaringan yang dimilikinya dan atau menyewa dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lain. Jaringan telekomunikasi yang disewa pada dasarnya digunakan untuk keperluan sendiri, namun apabila disewakan kembali kepada pihak lain, maka yang menyewakan kembali tersebut harus memperoleh izin sebagai penyelenggara jaringan telekomunikasi.

“Majelis Hakim sama tidak pahamnya dengan JPU bahwa yang dimaksud oleh kalimat “apabila disewakan kembali kepada pihak lain” adalah “Kapasitas jaringan”… sedangkan bila untuk menyalurkan Jasa, berarti digunakan sendiri untuk menyediakan jasa; jadi, bila IM2 menyewa kapasitas 30% dari kapasitas jaringan Indosat lalu IM2 menyewakan kapasitas saluran lagi kepada penyelenggara jasa telekomunikasi lainnya, maka IM2 wajib memiliki izin penyelenggara jaringan.

Yang dilakukan IM2, jelas Nonot,  adalah menggunakan jaringan untuk menjual jasa akses internet kepada pelanggan jasa, bukan untuk disewakan
kembali kepada pihak lain, maka IM2 adalah penyelenggara jasa sehingga tidak perlu memiliki izin sebagai penyelenggara jaringan.

.”Majelis Hakim melupakn bunyi ayat (2) di batang tubuh sehingga gagal memahami maksud dari penjelasan ayat (2) di atas,” ujarnya

Majelis Hakim mengkaitkan penafsiran keliru atas pasal 9 ini dengan Pasal 29 PP 53 thn 2000 yang menyatakan bahwa setiap pengguna spektrum frekuensi radio untuk keperluan penyelenggaraan telekomunikasi wajib membayar BHP-frekuensi. Majelis Hakim tidak mencermati lebih jauh bahwa yang menggunakan spektrum frekuensi radio itu adalah Jaringan yang berbasis sistem Radio yg dijelaskan dalam PP 52 tahun 2000 tentang ragam jaringan telekomunikasi.

Karena ketidak pahaman ini, ungkap Nonot, majelis hakim gagal memahami kaitan antara UU 36/1999 – PP 52 thn 2000 – dan PP 53 thn 2000; Perlu diketahui khalayak bahwa PP 52 thn 2000 adalah tentang penyelenggaraan telekomunikasi yang di dalamnya memuat ragam jaringan telekomunikasi dan ragam jasa telekomunikasi, serta bagaimana hubungan kerjasama keduanya. Di antara ragam jaringan telekomunikasi yg disebutkan dalam PP 52/2000 itu ada Jaringan bergerak seluler, ada telsus Penyiaran, ada satelit, dan sistem radio lainnya yang memerlukan alokasi spektrum frekuensi radio; naah untuk jaringan atau sistem komunikasi yang menggunakan sistem komunikasi radio ini diaturlah penggunaan spektrum frekuensi radio mengikuti kesepakatan internasional dengan PP 53-2000.

Akibat pemahaman ini, Majelis Hakim mengekor pemahaman JPU yang menyatakan bahwa seluruh penyelenggara telekomunikasi, baik penyelenggara jaringan ataupun penyelenggara jasa wajib membayar BHP-frekuensi. Mengacu pasal 29 PP 53 Tahun 2000 saja semata tanpa mengkaitkan dengan PP-52-2000 terkait Jaringan telekomunikasi dan hubungannya dengan penyelenggara jasa yang tidak memiliki jaringan seluler].

“Sungguh sangat mengecewakan mendengar fakta pembacaan putusan dimana semua kalimat dalam putusan itu sangat mirip dengan kalimat dakwaan JPU,” sesalnya,” sesalnya.

Ditambah lagi, ungkapnya,  dengan pernyataan majelis hakim yang mengatakan bahwa Surat Menteri Kominfo tidak bisa lagi dijadikan acuan. Padahal mengabaikan Menkominfo sama saja dengan mengabaikan UU Nomor 36 Tahun 1999.

“Bagaimana bisa diterima penegakan hukum mengabaikan penegakan hukum dengan mengabaikan UU/hukun yang ada. Merasa menegakkan UU 31 tahun 1999 dengan mengabaikan UU 36 tahun 1999 dan turunannya, hanya mengambil pasal yang dirasa cocok dengan yang diperlukan tanpa pemahaman yang benar,” tuturnya.  [fahrus Zaman Fadhly]

Related posts