BPKP Dinilai Double Standard
JABARTODAY.COM – JAKARTA
Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) menilai tuduhan penyalahgunaan alokasi frekuensi pada pita 2.1GHz dan penetapan tersangka atas Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) Indar Atmanto menunjukkan bahwa pihak penyidik Kejaksaan tidak memahami konteks telekomunikasi. Kejaksaan Agung dinilai cenderung memaksakan diri untuk menjadikan kasus IM2 sebagai kasus dugaan korupsi yang merugikan keuangan Negara.
“Penyidik Kejaksaan salah menafsirkan istilah “menggunaan frekuensi” dan tidak memahami konteks telekomunikasi terutama tentang istilah “menggunakan bersama” pita frekuensi radio. Makna menggunakan alokasi frekuensi itu artinya membangun pemancar-penerima (jaringan seluler) sendiri dan mengoperasikannya pada frekuensi tertentu. Sedangkan makna “menggunakan bersama” pita frekuensi radio artinya adalah ada dua atau lebih entitas yang masing-masing membangun jaringan radionya sendiri-sendiri dan dioperasikan menggunakan frekuensi yang sama persis. Misalnya ada 2-entitas pengguna alokasi frekuensi, maka agar tidak saling mengganggu, ada 3 pilhan cara yang bisa dilakukan.
Cara pertama, dibedakan wilayah cakupannya, misalnya yang satu di wilayah Sumatera, yang satu lagi di wilayah Jawa. Cara kedua, dibedakan waktu operasinya, misalnya yang satu siang dan yang satu lagi malam. Cara ketiga, dipakai teknologi untuk membedakan kedua sinyal radio agar tidak saling mengganggu, yang disebut teknik multiple–access. IM2 tidak membangun jaringan radio sendiri, hanya menggunakan jaringan seluler milik PT Indosat. Ini yang amat perlu dipahami, bahwa “menggunakan jaringan seluler Indosat” tidak sama dengan “menggunakan alokasi frekuensi Indosat”. Sehingga, kewajiban Biaya Hak Pemakaian atau BHP frekuensi ada pada pihak pemilik jaringan seluler, yaitu Indosat, bukan pada IM2. Jadi, kerjasama yang dilakukan antara Indosat dan IM2 itu legal dan tidak menyalahi aturan dan merupakan praktik kerjasama yang lazim dilakukan di seluruh dunia,” tegas anggota BRTI Nonot Harsono kepada Jabartoday.com di Jakarta (Minggu, 9/12).
Nonot menegaskan salah pikir dan tafsir atas makna menggunakan frekuensi ini mesti diluruskan. Bila tidak, carut-marut tata kelola negara di sektor telekomunikasi ini akan mengancam masa depan industri telekomunikasi yang telah berkontribusi besar penopang kegiatan ekonomi Negara. “Pihak Kejaksaan mesti mendengarkan penjelasan banyak kalangan, baik dari Menkominfo, BRTI, Mastel, ATSI, APJII dan para ahli telekomunikasi yang telah menjelaskan tidak ada yang illegal dari apa yang telah dilakukan oleh PT. Indosat Tbk. dan PT. IM2. Bila tidak, industri telekomunikasi terancam kolaps. Aneh, penjelasan dari Menkominfo sebagai majelis fatwa atas diundangkannya UU Telekomunikasi dan aturan pelaksanaannya diabaikan oleh pihak kejaksaan. Lalu rujukan apa sebenarnya yang digunakan oleh pihak Kejaksaan?,” ujar Nonot.
Ia menjelaskan penggunaan frekuensi diibaratkan sama dengan pembangunan jalan tol yang dilakukan suatu pengelola. “Pengelola jalan tol inilah yang berkewajiban membayar pajak jalan tol kepada Negara, sementara pengguna jasa jalan tol seperti bus, truck box, mobil kurir, travel, dan semua pengguna mobil pribadi tidak perlu membayar pajak seperti yang dikenakan kepada pengelola jalan tol itu. Mereka cukup membayar biaya kepada petugas loket pintu tol,” jelasnya.
Dalam konteks kasus kerjasama Indosat-IM2 ini, Nonot juga mengibaratkan PT Indosat seperti pembangun mall besar yang di dalamnya ada 1000 stand. Sehingga wajib pajak PBB adalah cukup Indosat. “Nah, posisi IM2 itu hanya penyewa salah satu stand dari 1000 stand yang ada. IM2 cukup membayar biaya sewa satu stand kepada Indosat. Sebagai penyewa, IM2 tidak dikenakan untuk membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) seperti yang dikenakan kepada PT Indosat sebagai pembangun mall. Bagaimana mungkin penyewa satu stand ukuran 5×6 meter harus membayar PBB untuk mall yang luasnya 5 hektar. Ibaratnya sama juga dengan wartel atau warnet yang menggunakan jaringan kabel atau fiber optik PT Telkom,” tutur pria berdarah Madura Jawa Timur ini.
Lebih lanjut Nonot menjelaskan bila pola pikir tentang makna “menggunakan frekuensi” yang dipakai tim penyidik Kejaksaan dibenarkan, maka dua ratusan perusahaan Content Provider yang berjualan konten melalui jaringan seluler dan dua ratusan juta pengguna seluler juga terancam dituntut telah melakukan dugaan tindak pidana korupsi seperti halnya kasus yang menimpa IM2. Demikian pula penyelenggara program siaran TV-Digital dimana satu pemancar digunakan bersama oleh 6 (enam) stasiun siaran; yang wajib membayar biaya hak penggunaan frekuensi seharusnya hanya pengelola pemancar, namun bila memakai pola pikir tim penyidik kejaksaan maka yang wajib bayar BHP adalah keenam penggunanya.
“Posisi IM2 itu sama dengan ratusan content provider yang berjualan konten melalui jaringan seluler dan dua ratusan juta lebih pengguna simcard telfon seluler yang memanfaatkan jaringan telekomunikasi seluler. Semuanya dapat disangka merugikan negara sebesar masing-masing 1,3 Triliun. Diibaratkan, IM2 dan CP itu pengguna saluran grosir, sementara individu pengguna telfon genggam itu pengguna saluran eceran. Kalikan saja, dua ratusan CP dan dua ratus juta pengguna seluler dengan 1,3 Triliun. Apakah Kejaksaan akan menuntut seluruh CP dan seluruh pengguna gadget di Indonesia karena mereka menggunakan frekuensi. Ini kan sesat pikir,” ujar Nonot prihatin.
BPKP Menciderai Muka Sendiri
BRTI juga menyesalkan sikap Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang dinilai tidak konsisten dan menciderai muka sendiri. “BPKP itu mitra Kemenkominfo yang harmonis. Ada tim optimalisasi pendapatan negara. Setiap tahun sejak 2006 melakukan audit laporan pendapatan Negara dari penggunaan frekuensi, dan tidak ada masalah. Nah, kenapa saat Kejaksaan meminta BPKP melakukan audit atas kasus IM2, kemudian dianggap ada kerugian Negara atas kerjasanya dengan PT Indosat? Ini kan sesuatu yang ganjil. Seolah-olah hal ini terkesan dipaksakan,” tuturnya.
Laporan BPKP yang tidak sinkron dengan pemeriksaan tahunan Kemekominfo mengenai BHP Frekuensi menunjukkan bahwa BPKP bersikap ‘double standard’ dan tidak konsisten. “Sikap BPKP double standard. Karena itu patut dianggap sikap BPKP menciderai muka sendiri” ungkapnya. (Fahrus Zaman Fadhly)