Oleh UKAS SUHARFAPUTRA
Peminat masalah sosial, dosen luar biasa Departemen Sosiologi UNPAD. Tinggal di Kuningan.
Dalam pemerintahan, birokrasi adalah unsur fundamental sebagai penyalur kesejahteraan kepada rakyat. Lebih dari itu, bahkan dalam kontestasi kekuasaan dan kepemimpinan, birokrasi menjadi arena perebutan pengaruh.
Analisa “ontologis” terhadap birokrasi seharusnya bukan semata pada matra normatif-nya, yakni tentang bagaimana dia seharusnya berprilaku dalam menjalankan fungsinya, tapi yang lebih menarik adalah memahami matra deskriptif-nya, yaitu bagaimana sebenarnya dia telah dan sedang menjalankan kiprahnya dalam kenyataan sesungguhnya? Tulisan ini mencoba mengupas itu secara singkat namun substantif.
Sumbu-Sumbu Tegangan
Keadaan birokrasi pemerintahan yang hadir lengkap dengan segenap aspek struktur, kultur dan perilakunya saat ini tidak muncul dari ruang kosong. Secara sosiologis, Ia merupakan hasil akhir (resultante) dari tarik-menarik dan tegangan empat kekuatan sumbu interaksi sosial. Sumbu pertama adalah “ranah normatif-kelembagaan (institusional)”. Ini adalah arena dimana segenap peraturan dan pedoman normatif birokrasi dalam semua tingkatannya disusun dan dilaksanakan. Ini adalah wilayah normatif yang memberi mandat pada birokrasi dengan misi mulia yang dikristalisasikan dalam tema besar tipikal, yakni: “Mensejahterakan dan memajukan rakyat”. Sumbu ini memberi birokrasi wajah suci sekaligus wajah formalnya, karena selalu mengikat, menjadi tali kekang, agar birokrasi selalu berlaku sesuai dengan misi dan fungsi luhurnya sebagai abdi negara dan pelayan rakyat. Dengan demikian, dari perspektif moralitas (kepentingan) publik, sumbu ini memberikan tarikan positif terhadap kinerja akhir birokrasi.
Yang kedua adalah sumbu lingkungan sosio-kultural, yakni matrik sosial budaya dengan segenap heterogenitasnya yang mengepung sistem birokrasi. Kongkritnya ini adalah seluruh kelompok dan lembaga masyarakat yang berkepentingan dan menekan kinerja birokrasi baik langsung maupun tidak langsung. Secara umum terdapat dua kelompok besar, yaitu kelompok kepentingan substansial dan kelompok kepentingan transaksional. Kelompok pertama adalah sebagian rakyat yang jujur, kritis dan serius terus menerus menuntut pemenuhan kepentingan publik kepada birokrasi (pemerintahan). Kepentingan mereka substantif, yakni kesejahteraan rakyat.
Sedangkan kelompok kedua adalah mereka yang rajin menekan birokrasi semata-mata untuk target pertukaran. Jargon kepentingan publik yang mereka usung semu, sekedar ingin menghadirkan suasana intimidatif untuk kemudian ditukar dan ditutup dengan transaksi kapital. Tarikan sumbu kedua ini terhadap birokrasi sangat tergantung pada hasil bersih dari perpaduan pengaruh dua kelompok besar ini. Jika kelompok pertama yang dominan maka tarikannya positif, jika sebaliknya maka tarikannya negatif.
Sumbu yang ketiga adalah ranah karakter atau disposisi mental yang terbangun dalam personal birokrat itu sendiri yang merupakan hasil dari pergulalatan eksistensial mereka dalam lingkungan sosialnya masing-masing. Dari sisi kepentingan publik, karakter ini dapat dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu karakter “orientasi publik” dan karakter “orientasi personal”. Yang pertama adalah semua jenis sifat dan dorongan yang mengarahkan pemiliknya untuk lebih memihak pada kepentingan publik daripada kepentingan lain. Sementara yang kedua adalah semua jenis sifat yang mengarahkan pemiliknya lebih memihak dan memenangkan setiap kepentingan profan pribadinya. Jika birokrasi dikuasai oleh pribadi-pribadi dengan jenis karakter kedua bisa dipastikan tarikan sumbu ketiga ini terhadap kinerja birokrasi akan bersifat negatif.
Yang keempat adalah sumbu rekrutmen kepemimpinan dan sumberdaya aparatur. Sumbu ini memiliki dua ruas, yakni ruas politik di hulu: terkait dengan penentuan kepemimpinan politik (Presiden, Gubernur dan Bupati) dan ruas administrasi di hilir: terkait dengan rekruitmen aparatur birokrasi pemerintahan. Interaksi sosio-politik di sumbu keempat ini sangat krusial dalam menetukan rupa dan laku birokrasi. Dia akan menghasilkan etos, budaya politik- administrasi yang hampir bisa dipastikan pada gilirannya akan dicangkok penuh menjadi budaya kerja birokrasi itu sendiri. Jika budaya yang terbangun adalah “kultur publik” yang bersih, teknokratis berbasis sistem merit maka tarikan sumbu ini terhadap birokrasi positif. Tapi jika yang terbangun adalah “kultur highly-transaksional”, yang lapar “rente” (rent seeker) dan berbasis sistem spoil yang rusak, hampir bisa dipastikan tarikannya negatif, bisa membobrokan birokrasi.
Korporatisme Para Musang
Pertanyaan intinya: bagaimanakah fakta rupa dan laku birokrasi kita saat ini setelah dipengaruhi oleh keempat sumbu-sumbu pengaruh tersebut? Sumbu normatif kelembagaan (pertama) meskipun memiliki tarikan positif namun pengaruhnya bersifat pasif. Daya desaknya pada birokrat agar selalu berada dalam rel kepentingan publik cenderung hanya ada dalam latar kesadaran mereka, bukan pada institusi-institusi kontrol yang aktif dan lugas melaksanakan pengawasan.
Dalam kondisi budaya kerja yang manipulatif dan penuh persekongkolan, bahkan sumbu normatif ini tak jarang hanya jadi sasaran “dikerjain” secara berjamaah oleh para birokrat tuna karakter. Benteng normatif dan regulasi cenderung sekedar jadi pagar di tepi jurang: hanya konstelasi norma yang berisiko administrasi dan hukum serius saja yang sungguh-sungguh diperhatikan dan dipatuhi. Regulasi yang secara aktif mengarahkan birokrasi menjadi pelayan prima publik dimanifestasikan “underperformed”, tidak maksimal, bahkan tak jarang hanya jadi perisai formalitas dan genderang nyaring pencitraan semata.
Sumbu lingkungan (kedua) dan sumbu rekruitmen (keempat) menggilas sumbu karakter (ketiga) dengan tarikan negatif yang sangat kuat sehingga secara keseluruhan tarikan kumulatifnya adalah juga negatif terhadap kinerja birokrasi. Lingkungan eksternal birokrasi didominasi oleh kekuatan massa transaksional yang berupaya menggamit bocoran dan jatah secara tidak sah dari sumberdaya yang dikelolanya. Tekanan dan premanisme administratif menjadi modus operandi utamanya. Di pihak lain, ruas rekruitmen kepemimpinan politik adalah nyala tungku yang dibahanbakari oleh nafsu besar transaksi kapital dan mentalitas dagang sapi yang kemudian secara pelan tapi pasti menjadi kode perilaku sah yang diakui bersama. Hal ini menghasilkan gelombang pasang budaya kerja transaksional dan berburu rente yang diadopsi hampir pada semua lapisan birokrasi, baik pada ruas rekruitmen aparatur maupun dalam aspek-aspek pelayanan publik lainnya.
Resultan dari segenap tarikan negatif ini adalah proses pembusukan birokrasi yang masif. Birokrasi yang secara normatif seharusnya menjadi institusi administrasi berorientasi publik, lambat laun digerogoti menjadi pasar ekonomi-politik, tempat ditransaksikannnya kebijakan dengan kapital, bukan untuk kepentingan publik, tetapi untuk melayani setiap kepentingan pragmatis para pelakunya. Itu berlangsung dari tingkat yang paling tinggi sampai yang paling rendah.
Dalam batas tertentu, birokrasi seperti sarang penyamun yang dikuasai oleh sekelompok jawara berpengaruh. Yakni, kelompok pejabat korporatis yang mengendalikan semua aliran transaksi kebijakan, kapital, jabatan dan semua sumberdaya yang dipandang bernilai dalam sirkuit perburuan rente illegal. Inilah wujud korporatisme birokrasi kita. Bangun institusi yang dikuasai oleh sekelompok The powerful yang karakternya berorientasi personal. Mereka berbagi kue kekuasaan, kapital dan rente milik rakyat untuk dieksploitasi demi hajat kepentingan masing-masing.
Sudah tentu semua ini berlangsung dengan tetap tidak meruntuhkan kesucian dan keluhuran wajah formalnya di hadapan rakyat sebagai institusi pelayan rakyat. Maka modus kuno tapi cukup efektif-pun dimainkan, permainan musang berbulu domba. Elit korporatis yang berkuasa bekerja sama menjadikan birokrasi sebagai simulakra: yakni mesin penghasil simbol, tanda, dan retorika (setengah, bahkan tiga-perempat) palsu yang bertubi-tubi diguyurkan pada rakyat.
Simbol dan retorika untuk menghipnotis rakyat, membangun pupur tebal citra tentang keikhlasan, keluhuran dan kemuliaan, seolah-olah mereka siap mati di jalan suci pengabdian pada rakyat. Permainan simulakra ini telah mengalami regenerasi dan modifikasi sepanjang umur birokrasi itu sendiri. Mesin ini telah sukses menghasilkan komunitas para penguasa dan para birokrat genit-ganjen yang senang bersolek ria. Merias diri dengan pupur tebal hipokrisi, kemunafikan untuk menutupi borok perilaku bobrok mal-administrasi dan korupsi. Para elit korporatis yang rajin membeber layar bulu domba di muka untuk menutupi kebinalan, keliaran dan kerakusan perilaku ‘ala musang di belakang panggung. []