Biaya Kedokteran Harus Ditanggung Pemerintah

JABARTODAY.COM.:DEPOK- Mahalnya biaya kuliah kedokteran mengakibatkan kesenjangan karena yang mampu mengenyam pendidikan kedokteran selama ini hanya didominasi oleh orang  kaya. Untuk itu, biaya kedokterean seharusnya ditanggung oleh negara agar si miskin juga bisa kuliah di kedokteran.

Demikian disampaikan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Depok Fakhrurrozi, Minggu (20/5) usai disela-sela acara  Fun Bike di Balai Kota Depok.

Ia menjelaskan,  dahulu hampir semua orang bisa mendapat kesempatan kuliah di Fakultas Kedokteran karena biayanya masih terjangkau. Namun, saat ini biaya yang mencapai ratusan juta. Hal ini tentu  mengakibatkan profesi dokter jauh dari harapan masyarakat ekonomi bawah. “Caranya pihak pemerintah pusat bisa memberikan biaya bagi mahasiswa yang masuk Fakultas Kedokteran,” katanya.

Lulusan pendidikan kedokteran yang dibiayai oleh pemerintah nantinya bisa mudah ditempatkan di sejumlah daerah. Hal ini penting dilakukan  karena keberadaan dan sebaran dokter di Indonesia tidak merata. “Kalau biaya dari pemerintah, penempatan dokter itu bisa dengan mudah diatur,” katanya.

Fakta saat ini menunjukan para lulusan kedokteran lebih memilih bekerja di kota besar. Hal itu karena mereka telah mengeluarkan biaya tinggi dan rasa mengabdi kepada pemerintah berkurang. “Itulah kenapa saat ini dokter menyerbu kota besar dan menghindar tugas dari daerah terpencil,” katanya.

Berdasarkan ketentuan IDI, rasio pelayanan dokter idela adalah satu orang dokter untuk 2.000 jiwa. Sementara, saat ini masih banyak daerah yang tidak memenuhi rasio itu. Bahkan di daerah terpencil seperti Kalimantan dan Papua masih sangat kekurangan dokter.”Apalagi, banyak dokter spesialis atau lainnnya memilih untuk tidak menjadi PNS,” katanya.

Senada, Sekretaris IDI Depok Hidayat mengatakan untuk mengambil fakultas kedokteran mahasiswa bisa menghabiskan ratusan juta. Untuk biaya masuk saja mereka bisa membayar sampai Rp 250 juta, belum lagi biaya SPP dan praktek. “Jadi tidak heran jika hanya dinikmati oleh kalangan tertentu,” katanya.

Menurut Hidayat, memang ada beberapa mahasiswa yang mendapatkan beasiswa dari daerah masing-masing. Namun, setelah berprofesi dokter mereka enggan kembali ke daerah asalnya. “Bagi daerah yang memiliki APBD banyak tidak masalah, tapi yang APBD kecil akan kesulitan mendapat dokter,” katanya.

Sementara untuk kota Depok sendiri, kebutuhan dokter di setiap wilayahnya sudah sesuai dengan rasio pelayanan. Saat ini terdapat 1.500 dokter di Depok. Dari jumlah itu, sekitar 400 orang merupakan dokter spesialis. “Kebanyakan dokter spesialis ini enggan memilih untuk menjadi PNS,” ujar Hidayat. [FAR]

 

Related posts