Biar Ekonomi Pas-pasan, Mudik Jalan Terus

Ceritera yang Tercecer dari Momen Mudik Lebaran

Dua buruh wanita yang bekerja di salah satu pabrik tekstil di Cipacing, Jatinangor, saat pulang kerja, baru-baru ini. (DEDE SUHERLAN/JABARTODAY.COM)

JABARTODAY.COM – SUMEDANG

 CERITERA mudik tak pernah hilang. Setiap Ramadhan datang, saat itu juga para perantau yang tinggal di berbagai kota, menanti-nanti datangnya momen sakral tahunan itu. Bagaimana ceritera mudik yang ditempuh oleh beberapa buruh pabrik di Cipacing, Kecamatan Jatinangor? Di balik kerinduan mereka terhadap sanak-keluarga di kampung halaman, ada ceritera pilu yang menyertainya.

 

Bagi Herman (28), mudik ke kampung halaman yang dilakukan pada tahun ini adalah tahun ke-10. Tepatnya pada tahun 2001, pria asal Kebumen, Jawa Tengah  ini mulai menginjakkan kaki di Cipacing dan bekerja di sebuah pabrik tekstil.

“Saya selalu menyempatkan pulang kampung kendati dilakukan setahun sekali. Saya memilih datangnya Idul Fitri sebagai momen untuk pulang kampung. Mudik menjadi momen untuk mengobati rasa kangen terhadap kampung halaman,” kata Herman di sela-sela istirahat menempuh perjalanan bermudik ria dari Bandung menuju Kebumen, di Cipacing, Jatinangor, awal pekan ini.

Menurut Herman, kendati dari tahun ke tahun perkembangan ekonomi keluarganya tidak semakin meningkat, namun bapak dua anak ini tetap bersikeras untuk mudik.

“Kalau dilihat dari peningkatan kesejahteraan, sebenarnya ekonomi keluarga saya sangat pas-pasan. Gaji yang diperoleh setiap bulan, hanya cukup untuk makan istri dan anak. Di tengah gaji yang minim itu, saya selalu menyempatkan diri untuk menyisihkan uang setiap bulan untuk bekal mudik. Saya tidak ingin, saat kesulitan ekonomi mendera, silaturahmi dengan keluarga di kampung juga terputus,” ujar Herman yang mengaku tinggal bersama istri dan anak-anaknya di sebuah kamar kontrakan di Cipacing.

Pemudik lainnya Dani (24), buruh di sebuah pabrik produk makanan mengatakan, saat mudik tahun ini rasa prihatin sedang melanda dirinya.

Dia menyebutkan, kendati dia sudah mengabdi di perusahaan itu lebih dari tiga tahun, namun  kesejahteraan sama sekali tidak dia temui di perusahaan itu.

“Saya bekerja di perusahaan ini karena terpaksa saja. Daripada nganggur,” kata pendatang asal Cirebon itu.

Dikatakan Dani, alasan yang dia tuturkan sangat terasa betul saat musim mudik datang. Ketika momen Lebaran tiba, bagaimanapun dia harus meluangkan waktu  untuk pulang ke kampung halaman. Namun, bagi Dani mudik bukanlah persoalan sepele.

“Uang yang saya miliki untuk mudik tahun ini hanya cukup untuk ongkos dan sekadar membeli oleh-oleh sederhana untuk keluarga di kampung. Saya sama sekali tidak mendapat THR (tunjangan hari raya) dari pabrik. Perusahaan beralasan, karena dua minggu sebelum libur lebaran saya dirumahkan dari pekerjaan, saya tidak berhak mendapat THR,” katanya.

Sedangkan Neni (21), perantau asal Gombong, Jawa Tengah, yang bekerja di salah satu pabrik tekstil di Cipacing mengatakan, melihat kondisi ekonomi yang semakin tidak menentu, keterbatasan ekonomi tidak akan dijadikan alasan untuk tidak mudik.

“Saat saya masih lajang, biaya untuk mudik tak terlalu membebani saya. Namun, ketika sudah berkeluarga, kebutuhan yang harus dipenuhi berlipat. Walaupun begitu, saya tak akan meninggalkan kesempatan untuk mudik. Biar uang pas-pasan, bertemu dengan keluarga di kampung saat lebaran mendatangkan kebahagiaan tersendiri,” kata ibu satu anak itu. (DEDE SUHERLAN)

Related posts