Oleh Chessa Ario Jani Purnomo
Dosen Fakultas Hukum Universitas Pamulang, Tangerang Selatan, Banten
Hukum pidana seakan-akan menjadi ujung tombak negara dalam rangka mencegah dan memberantas kejahatan ditengah situasi bencana non-alam (COVID-19). Dengan semangat “menegakan hukum,” pihak kepolisian menerbitkan beberapa surat telegram (humas.polri.go.id) paska Presiden Joko Widodo menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Peraturan Pemeritah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam rangka menanggulangi Covid-19 (tirto.id).
Situasi ini direspon sebagian masyarakat sipil. Timbul beragam pendapat dan analisis, dikhawatirkan pihak kepolisian “offside” mengenai hak-hak sipil warga negara seperti pembatasan kebebasan berekspresi secara sah atau dapat dianggap menghina Presiden. Kendati pun demikian, berita online (05/04/2020) menyebut 72 kasus terkait hoax sedang ditangani oleh pihak kepolisian yang tersebar di beberapa daerah dan yang terbesar berada di wilayah Polda Jawa Timur 11 kasus dan Polda Metro Jaya 11 Kasus (m.liputan6.com). Artinya, pihak kepolisian dapat melakukan upaya paksa berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan dan seterusnya.
Berdasarkan laman website pihak kepolisian menyebut empat kejahatan era virus corona yang salah satunya adalah ujaran kebencian menggunakan media digital. Oleh sebab itu, penulis hendak berdiskusi dari sisi hukum pidana dengan mengingat karakter hukum pidana yang bersifat memaksa dan keras. Begini, pertama, dalam hukum pidana dikenal beberapa pembagian, seperti hukum pidana umum dan hukum pidana khusus.
Dalam konteks teori, hukum pidana umum adalah istilah yang digunakan untuk merujuk bentuk kejahatan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang bersifat terkodifikasi. Sebagai lawannya, hukum pidana khusus merupakan bentuk kejahatan atau perbuatan yang dilarang yang eksistensinya diatur di luar KUHP dan tidak bersifat terkodifikasi. Pengaturan yang demikian untuk merespon kejahatan dengan modus operandi baru sehingga bersifat adaptif.
Kedua, rupa-rupanya hukum pidana khusus terbagi dua yakni hukum pidana khusus dalam undang-undang pidana. Semacam Undang-Undang No. 20 tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Disisi lain, hukum pidana khusus dalam undang-undang non pidana tetapi terdapat ketentuan pidana seperti, Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No 11 tahun 2008 (UU ITE) atau Undang-Undang No. 6 Tahun 2018 Tentang Kekarantinaan Kesehatan (UU Kekarantinaan Kesehatan).
Penulis mengaitkan surat telegram berseri ST/1100/IV/HUK.7.1/2020 perihal penanganan kejahatan di ruang siber dengan UU ITE pada BAB VII bertitel “Perbuatan Yang Dilarang” terdiri dari 17 (tujuh belas) pasal yang terelasi pada BAB IX berjudul “Ketentuan Pidana” berisi 8 (delapan) pasal.
Model pengaturan tersebut mesti dilihat dalam bingkai “sistem hukum pidana.” Pada titik ini, hukum pidana tidak dapat dipahami dan dipraktikan secara sepotong-sepotong. Sebagai contoh, istilah “mobil” menggambarkan mesin, roda, kursi, dan komponen lain yang membentuk suatu pengertian “mobil” dan sama sekali bukan soal perbedaan beroda tiga, besar atau kecil, digunakan untuk balapan atau transportasi.
Ketiga, pembentuk undang-undang menyatakan berita bohong atau hoax dan ujaran kebencian dengan media digital sebagai perbuatan yang dilarang karena bahayanya sifat perbuatan dapat merugikan individu, masyarakat dan negara maka dapat disebut sebagai kejahatan. Secara gampangan, ibarat mencari kontak telepon pada sebuah ponsel, setiap orang hanya perlu merujuk BAB VII UU ITE untuk mengetahui perbuatan yang dipandang jahat oleh negara.
Khususnya terkait dengan kejahatan ujaran kebencian. Penulis berpendapat Pasal 28 ayat (2) UU ITE tidak dapat aktif saat pandemik Covid-19. Apa sebab? Kata “setiap orang” merupakan subjek hukum manusia-biologis (naturlijk persoon) bukan badan hukum (rechtpersoon). Sementara kata “tanpa hak” adalah menyalahgunakan atau melampaui wewenang. Bagian inti perbuatan yang dilarang ialah menyebarkan informasi guna menciptakan kebencian atau peermusuhan berbasis suku, ras, agama dan antar golongan (SARA) menggunakan teknologi informasi.
Pasal a quo termasuk jenis delik formil yang tidak menitikberatkan kepada akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan. Bagi pelaku tersedia ancaman pidana 6 (enam) tahun pidana penjara dan pidana denda satu milyar rupiah. Penulis bertanya, apa relevansinya dengan pandemik covid-19? Penulis serahkan kepada pembaca yang budiman.
Dari segi waktu, memperhatikan terbitnya surat-surat telegram kepolisian paska Presiden Joko Widodo mengumumkan kebijakan hukum terkait penanganan Covid-19, terkesan bahwa kepentingan negara sebagai yang utama untuk dilindungi. Katakanlah, diantara kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh hukum pidana “tak akur.”
Misalnya, mana yang hendak didahulukan oleh hukum pidana apabila kepentingan masyarakat berhadapan dengan kepentingan individu atau kepentingan negara lawan kepentingan masyarakat? Alih-alih melindungi, nampaknya cenderung mengkhawatirkan. Meskipun surat telegram tersebut bukan undang-undang, tetapi mencerminkan watak negara menggunakan hukum pidana tanpa bingkai “sistem.”
Penutup
Ada benarnya pandangan Van Bemmelen (1984: xii): “Hukum Pidana ialah urusan kita semua. Pada dasarnya hukum ini ditulis bagi semua orang. Mereka yang seumur hidup tidak pernah berurusan dengan hakim pidana juga sekali waktu akan merasa khawatir melihat penerapan hukum pidana ini.”***