Profesor Tavneck, yang telah menyumbangkan sebagian tabungannya selama setengah abad menjadi konsultan ekonomi untuk lembaga yang memperjuangkan kebebasan sipil di Indonesia, menjalani hidup dengan resep-resep kuno yang tetap ampuh.
Ia belajar dan bekerja keras serta terbiasa hemat dan menabung sejak kecil. Perlakuan pahit yang diterimanya tak merintanginya untuk berbuat baik kepada orang lain.
Tavneck berasal dari keluarga sosialis Yahudi-Austria. Ayahnya melarikan diri setelah divonis mati karena dituduh meledakkan sebuah lokomotif (1934). Semula ia lari ke Cekoslovakia yang dekat, agar bisa bertemu keluarganya dua kali setahun.
Ketika Prancis memilih perdana menteri sosialis, Tavneck senior membawa keluarganya pindah ke Paris. Enam tahun kemudian, serikat buruh Amerika berhasil melobi Presiden Roosevelt untuk memberi 200 visa kepada orang-orang yang harus terusir dari negeri mereka karena alasan politik. Mereka hijrah ke New York pada 1940.
Dalam usia 15, Tavneck bekerja di ladang pertanian di New York utara yang amat dingin. Ia masih ingat gajinya: 18 dolar per bulan. Karena diberi tempat tinggal di loteng pemilik pertanian itu dan mendapat makan yang cukup, maka ia hanya perlu setengah dolar sebulan. Seluruh sisa gajinya ia berikan kepada orangtuanya, yang berpenghasilan lebih kecil.
Setelah cukup mengumpulkan uang, ia kuliah dan mengambil studi ekonomi, sampai mencapai doktor dari Universitas Cornell. ‘Darah sosialis’ membuatnya bersimpati pada negara-negara miskin, dan mencurahkan seluruh ikhtiar akademisnya untuk membantu mereka mengelola ekonomi secara sehat.
Begitulah, Tavneck berkeliling ke negara-negara berkembang yang membutuhkan keahliannya. Ia bolak-balik ke Indonesia sejak 1960-an sampai hari ini. Setelah pensiun dari universitas, ia mendirikan lembaga kajian ekonomi negara-negara berkembang.
Sekarang, salah satu kliennya adalah Palao, negeri berpenduduk 50 ribu jiwa di dekat Mikronesia, bekas protektorat Amerika. Presiden Kennedy memberi kemerdekaan pada negeri itu karena tak tahan pada kritik internasional yang mencibir AS sebagai ‘kolonialis terakhir’.
Karena tak mungkin Palao dibiarkan berjalan sendiri meski sudah merdeka, AS memberi US$ 180 juta per tahun kepada Palao. Sejak beberapa tahun lalu, subsidi itu dicabut.
Para penasihat ekonomi menyimpulkan, tak banyak pilihan bagi Palao untuk tetap hidup. Pertama, sepertiga penduduknya harus dipindahkan dan diberi pekerjaan di Amerika, agar hasilnya dikirim balik ke Palao untuk menghidupi dua pertiga penduduk yang tetap tinggal di sana.
Kedua, pengelolaan negara dikembalikan lagi kepada Amerika, karena warga asli jelas tak mampu mengurus dirinya sendiri.