Bandung, “Barcelona van Indonesia”

Tjetje Hidayat Padmadinata

Sesepuh Jawa Barat & Politisi Senior 

 

independen.net

SEJAK dulu, saya anti sentralisme kekuasan dan kekayaan Jakarta. Pasalnya, 70%, kekuasaan dan kekayaan bangsa ini hanya dinikmati oleh segelintir elit dan orang-orang yang berada di Jakarta. Ini jelas bentuk ketidakadilan yang lahir dari sistem mono-panggung.

 

Karena itu, harus ada keseimbangan antara ibukota negara dan ibukota-ibukota propinsi di Indonesia. Bagaimana Indonesia bisa beres, bila pengelolaan negara masih bercorak sentralisme?  Padahal kita adalah bangsa Indonesia dengan penduduk mencapai 260 juta yang membentang luas dari Sabang hingga Merauke.

 

Sentralisme dan sistem mono-panggung selalu memunculkan kecemburuan.  Kita harus mengubahnya menjadi sistem multi-panggung. Panggung harus tersebar di seluruh wilayah di Indonesia, tidak hanya di “Panggung Jakarta”. Harus ada “Panggung Bandung”, “Panggung Medan”, “Panggung Surabaya”, Panggung Makassar”, “Panggung Maluku,” “Panggung Papua”, dan panggung-panggung lainnya. Daerah  harus punya kebanggaan dan kehormatan sendiri.

 

Bandung misalnya, dari dulu selalu melahirkan tokoh-tokoh besar nasional. Soekarno, Natsir, Habibie, AH. Nasution, Oto Iskandar Dinata —– untuk menyebut beberapa—– lahir dari “Panggung Bandung”.   Bandung itu bagaikan Barcelona. Dalam catatan sejarahnya, Barcelona dikenal selalu berani berbeda pendapat dengan Madrid, ibukota Spanyol. Barcelona selalu berani melawan Madrid bila kebijakan ibukota Spanyol itu bertentangan dengan kepentingan umum.

 

Barcelona adalah  sebuah provinsi di Spanyol yang  letaknya di bagian timurlaut  negeri pesohor sepakbola itu. Tepatnya di region Catolenea. Permusuhan antara Barcelona dan Madrid bermula pada masa Jenderal Franco, seorang Jenderal yang menjadi penguasa diktator di Spanyol pada tahun 1930- an. Mayoritas penduduk Barcelona adalah dari suku bangsa Catalan dan Basque. Sejak dulu, orang-orang Catalonia  menganggap diri mereka bukan bagian dari Spanyol, dan justru merasa berada di bawah “kolonialisme” Spanyol.

 

Orang-orang Barcelona memiliki spirit yang tinggi dalam mendobrak dominasi kekuasaan  Madrid. Spirit Barcelona telah melahirkan “patriotisme lokal” yang memiliki “pride and dignity“, kebanggaan dan kehormatan (marwah). “Pride and dignity” seperti inilah yang harus ditumbuhsuburkan.  Spirit Barcelona adalah spirit membara membangun daerahnya. Sebuah potret nasionalisme lokal yang menjadi pilar penguat nasionalisme Spanyol.

 

Tidak ada yang harus dikhawatirkan dari  “patriotisme lokal” karena tetap dalam bingkai nasionalisme Indonesia. Patriotisme adalah sikap kepahlawanan dan rasa identifikasi personal seseorang kepada negaranya. Stephen Nathansan (1993, 34-35)  mendefinisikan patriotisme sebagai “Special affection for one’s own country, a sense of personal identification with the country, special concern for the well-being of the country, willingness to sacrifice to promote the country’s good“.

 

Ketika dilekatkan pada kata lokal, maka patriotisme itu bermakna rasa cinta tanah air, rasa identifikasi personal, perhatian khusus dan keinginan berkorban seseorang demi kemajuan nusa, bangsa dan negara melalui kiprahnya di daerah. Karena daerah adalah penyangga dan penguat bangunan pemerintahan pusat.

 

Belajar dari pengalaman Barcelona,  suasana heroik dari  “patriotisme lokal”  ini telah melahirkan pejuang dan politisi dengan kualitas bagus, Karena itu, tidak heran, bila tokoh-tokoh yang manggung di ibukota Madrid adalah tokoh-tokoh yang dibesarkan dan tertempa lama di Barcelona. Tidak seperti di Indonesia era sekarang, para politisi di Jakarta adalah orang-orang dadakan yang sebelumnya tidak kita kenal. Mendadak jadi tokoh, mendadak jadi politisi.

 

Saya paralel dengan Barcelona. Saya berpendirian, tokoh atau politisi yang manggung di pentas politik  nasional haruslah mereka yang sudah lama berkiprah di daerah. Tertempa, dibesarkan  serta dikenal sejak mereka berada di daerah.  Mereka memiliki patriotisme lokal yang tinggi, namun pada saat yang sama memiliki nasionalisme dan kecintaan yang membara pada republik.

 

Secara pribadi, sebagai anggota Brigade Mahasiswa yang mengotaki Peristiwa “Kepung Istana” atau “Gerakan Perdamaian Dunia” pada 19 Maret 1960, saya memiliki semangat yang sama dengan spirit “patriotisme lokal” ala Barcelona.  Dari Bandung, saya dengan teman-teman merancang “kudeta lokal” ala Bandung melawan sentralisme kekuasaan Soekarno kala itu. Saat itu, Presiden Soekarno terlalu memberi angin kepada PKI (Partai Komunis Indonesia). Saya dan kawan-kawan yang tergabung dalam Brigade Mahasiswa memberontak terhadap kekuasaan Presiden Soekarno.

 

Kendati kudeta kami gagal, kami bangga sebagai mahasiswa Bandung yang berani bersikap melawan otoritarianisme Jakarta. Semangat Barcelona ini yang bersemayam di hati kami, mahasiswa Bandung kala itu. Kita harus berani berbeda pendapat dengan Jakarta bila kebijakannya mengancam masa depan republik kita tercinta. Inilah yang saya maksud dengan “patriotisme lokal”. Suatu kondisi dimana orang-orang di daerah harus berani berpendapat dan bersikap terhadap kekuasaan Jakarta, bila arah masa depan republik terancam, merugikan kepentingan publik  dan tidak jelas arahnya mau kemana.

 

Spirit “patriotisme lokal” ini, saya kira masih sangat relevan pada era nasionalisme modern seperti saat ini. Saya berharap Bandung ini  bisa menjadi “Barcelona van Indonesia”.  Bisa menjadi partner Jakarta yang setara, punya “pride and dignity“, punya harga diri dan kehormatan, siap berani berbeda pendapat dan melawan Jakarta bila ibukota republik ini menyimpang dari cita-cita proklamasi sebagaimana termaktub dalam mukaddimah UUD 1945. “Bravo Bandung, Bravo Barcelona van Indonesia!”   (***)

 

 

 

Related posts