Ada kejadian menarik dalam 1 tahun ke belakangan ini di UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) di Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Sejak tahun 2010 dan 2011 yang lalu, banyak Dosen yang bergelar Doktor dan ingin menjadi Guru Besar (Profesor) serta banyak Dosen yang ingin mengajukan naik pangkat, ternyata terhambat. Selidik punya selidik, faktor keterhambatan tersebut ternyata bersumber dari Dirjendikti Kemdikbud RI (Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia) di Jakarta.
Menurut sumber yang bisa dipercaya, Dirjendikti menunda semua usulan jabatan Prof dan kenaikan pangkat Dosen dari UPI tersebut karena ada sekitar 3-4 orang Dosen yang bergelar Doktor dan mau menjadi Guru Besar disinyalir melakukan kegiatan plagiat. Pihak Dirjendikti meminta pihak UPI untuk memberikan klarifikasi dan bahkan sanksi terhadap dosen-dosen yang melakukan kegiatan akademik tidak terpuji itu.
Prof. Dr. Sunaryo Kartadinata, Rektor UPI, memang membenarkan sinyalemen tersebut ketika memberikan sambutan dalam acara penganugrahan kepada para dosen dan dosen purnabhakti di Balai Pertemuan UPI bulan Januari 2012 yang lalu. Namun karena sikap pimpinan UPI yang tidak tegas dan tidak jelas, maka fenomena flagiarisme yang marak di UPI itu akhirnya menjadi “desas-desus” yang tidak sehat secara akademik.
Dr. Aki Sukanta, salah seorang Dosen Pascasarjana UPI, menyatakan bahwa Dosen yang melakukan flagiarisme itu, diantaranya yang paling penting, berinisial CD dan sudah diklarifikasi oleh pihak UPI. Tapi, menurut Sukanta, itu tidak cukup karena pihak Dirjendikti menghendaki sanksi.
Sementara itu Ketua Umum ASPENSI (Asosiasi Sarjana Pendidikan Sejarah Indonesia) di Bandung, Andi Suwirta, M.Hum., menyatakan sangat prihatin dan miris dengan adanya fenomena plagiarisme di UPI. Menurut Andi, yang juga dosen di Jurusan Pendidikan Sejarah UPI, seorang Dosen yang melakukan flagiat berarti dia tidak memiliki “asketisme intelektual” yang tinggi, yakni suatu sikap dimana unsur kejujuran, ketelitian, ketekunan, rendah hati, dan etos kerja akademik yang kuat harus dijadikan rule of conduct seorang dosen di Perguruan Tinggi.
“Saya sering menegur mahasiswa yang akan menjadi Calon Sarjana ketika dia menulis Skripsi dan mengutip pendapat seorang ahli, tapi ketika saya cek di daftar rujukan ternyata tidak ada”, kata Andi yang menambahkan bahwa hal-hal kecil tersebut terasa penting dalam konteks mengaktualisasikan sikap asketisme intelektual calon Sarjana.
“Lebih-lebih jika terjadi plagiarisme, misalnya melakukan penulisan tanpa menyebutkan sumber dan ternyata apa-apa yang ditulis itu adalah karya orang lain. Atau ada tulisan orang lain yang diklaim, dan bahkan diganti namanya, seolah-olah menjadi milik mahasiswa tersebut, jelas itu namanya flagiarisme yang harus diberi sanksi tegas”, kata Andi dengan semangat.
Menurut Andi, fenomena plagiarisme memang marak tidak hanya di Indonesia, tetapi di Negara tetangga pun hal ini terjadi juga.
“Pernah pada tahun 2011 yang lalu, saya ditelefon langsung dan di-emel oleh seorang Prof Dr dari UKM (Universiti Kebangsaan Malaysia) untuk minta penilaian saya apakah karya seorang Dosen dari Fakultas Pendidikan UKM yang dimuat di jurnal-jurnal ASPENSI itu termasuk kategori plagiat?”, kata Andi memberi contoh, seraya menambahkan bahwa karena jurnal-jurnal ASPENSI memiliki website sendiri yang bisa dibaca dan diakses oleh seluruh dunia, serta belum ada orang yang complain mengenai hal tersebut, maka itu dianggap karya Dosen yang bersangkutan.
Menurut Andi, dalam catatan sejarah plagiarisme di Indonesia, kita mencatat beberapa kasus yang menarik. Pada tahun 1960-an, HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah) pernah dituduh flagiat oleh LEKRA PKI (Lembaga Kebudayaan Rakyat, Partai Komunis Indonesia) ketika ulama terkenal dari Indonesia itu menulis novel Tenggelamnja Kapal Van der Wijk. Karena tuduhan ini bersifat politik dan akhirnya PKI dibubarkan oleh pemerintah Orde Baru (1966), maka kasus flagiat ini menjadi raib dengan sendirinya.
Dalam dunia akademik di Perguruan Tinggi, lanjut Andi, menarik untuk dicermati adanya kasus-kasus flagiat yang dilakukan oleh Dosen di UI (Universitas Indonesia) dan UNRI (Universitas Riau) dimana mereka ditangguhkan jabatannya sebagai Profesor atau kalau sudah jadi Profesor dicopot dari jabatannya yang terhormat tersebut.
Andi akhirnya mengharapkan agar Rektor UPI berani bersikap tegas dan memberikan sanksi yang keras terhadap Dosen yang melakukan aksi flagiarisme. Sebab jika hal itu tidak dilakukan maka akan merugikan semua Dosen di UPI yang jelas-jelas telah mendidik, meneliti, dan mengabdi secara akademik dengan sikap asketisme intelektual yang tinggi.
“Karena saya orang sejarah, maka kita tunggu tindakan Prof Sunaryo apakah beliau akan seperti rektor-rektor UPI sebelumnya dimana kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan oleh dosen-dosen UPI diberi sanksi yang tegas dan keras”, kata Andi seraya menambahkan bahwa ketika Prof Sunaryo menjadi PR (Pembantu Rektor) II UPI, beliau juga pernah memecat Dosen dari Jurusan Pendidikan Sejarah yang tidak melaksanakan kegiatan Tri Dharma Perguruan Tinggi (Penelitian, Pendidikan, dan Pengabdian kepada Masyarakat). (mas/aspensi.com)