
SULAIMAN N. SEMBIRING
Direktur Eksekutif Indonesian Center for Telecommunication Law (ICTL)
Sudah baikkah hukum telekomunikasi nasional kita? Jawaban atas pertanyaan tersebut sangat mungkin menjadi relatif, debatable, atau tergantung sudut pandang apa yang digunakan. Bisa jadi pertanyaan tersebut terkesan klise atau dianggap tidak penting untuk dijawab.
Masih berdaulatkah kita di bidang telekomunikasi, dengan struktur dan potret penguasaan bisnis dan industri telekomunikasi nasional saat ini? Berapa besar kue industri tersebut dikuasai oleh pemain lokal atau dikelola oleh perusahaan “merah putih”? Bagaimana dan kemana arah kebijakan dan regulasi yang ada gerangan berjalan? Bagaimana halnya dengan rezim pengaturan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Telekomunikasi Universal Service Obligation (USO) dan kelembagaan pengelolaannya yang diduga bergeser dari substansi dasar Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi dan efektifitasnya di tingkat lapangan yang dipertanyakan banyak pihak, maupun kritik pelaku usaha atas landasan hukum dan mekanisme perhitungan kewajiban atas Biaya Hak Pengelolaan (BHP)?
Apakah persoalan hukum kasus sedot pulsa sudah selesai? Secara spesifik, bagaimana pula halnya Pemerintah melihat ketentuan tentang Uji Laik Operasional (ULO) yang diatur berdasarkan Peraturan Menteri Nomor 1 Tahun 2010 namun tidak sesuai dengan kaedah hukum, atau kemampuan dan kecakapan Pemerintah yang rendah dalam menyelesaikan persoalan sengketa dan kasus-kasus gugatan yang justru seringkali menempatkan posisi Pemerintah sebagai pihak yang kalah? Sungguh, kalau pertanyaannya menukik pada isu esensial demikian, jawabannya bisa jadi berbeda.
Walaupun dengan nada cemas dan rasa was-was kiranya berbagai pertanyaan kritis (critical question) atau pun keresahan akan masa depan telekomunikasi nasional yang sangat bergantung dari ketersediaan sistem hukum yang kuat menjadi sangat relevan untuk dimunculkan. Sebab, selain faktor penting ihwal kedaulatan negara, urgensi akan ketersediaan kebijakan dan regulasi yang harmonis dan sinkron, ketersediaan lembaga yang memadai dengan kinerja yang efektif, pada tataran praktis ada 180 juta pelanggan aktif telekomunikasi yang bergantung pada media telekomunikasi.
Demikian pula keterkaitan bidang telekomunikasi dengan berbagai isu penting nasional maupun lintas negara seperti pertahanan, pendidikan, keuangan maupun milyaran transaksi data yang akan bergerak dari satu titik ke titik yang lain, termasuk data-data sensitif, yang super penting maupun yang bersifat rahasia.
Dalam konteks inilah mestinya, pembahasan mengenai arsitektur hukum telekomunikasi nasional – sebagai bagian vital dan esensial dari arsitektur industri telekomunikasi nasional perlu dilihat ulang, dikiritisi, disaneriing untuk kemudian diperkuat dan dimantapkan.
Sistem Hukum Telekomunikasi
Secara teoritis, sistem hukum meliputi 3 (tiga) hal pokok yaitu struktur hukum, substansi hukum, dan budaya hukum masyarakat.
Friedmann (1984) mendenisikan struktur hukum sebagai “its skeleton or frameworks, the durable part, which gives a kind of consist of element of this kind: the number of size courts; their jurisdiction; and modes of appeal from one court to another. Structure also means how legislature is organized, how many members, what president can (legally) do or not do, what procedures the policy department follows.”
Dalam konteks penyelenggaraan telekomunikasi, struktur hukum (legal structure) adalah berupa lembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang lingkup tugasnya terkait dengan penyelenggaraan telekomunikasi. Di dalam lembaga itu bekerja para aparatur negara dan pemerintahan yang menjadi tulang punggung (backbone) bekerjanya sistem penyelenggaraan telekomunikasi. Keberadaan Kementerian Komunikasi dan Informatika, BRTI, Polri, Kejaksaan dan pengadilan adalah contoh kongkrit dari struktur hukum bidang telekomunikasi. Singkatnya, struktur hukum sangat terkait dengan aspek kelembagaan (institution) dan aparatnya (apparatus).
Substansi hukum (legal substance) adalah semua azas, norma hukum dan pola perilaku pejabat negara dan pemerintahan yang dijadikan acuan oleh masyarakat dan pemerintah (the actual rules, norms, and behavior patterns of people inside the system). Di bidang telekomunikasi, wujud konkritnya adalah kebijakan (policy) dan peraturan perundang-undangan (regulation) telekomunikasi nasional termasuk prinsip-prinsip dasar yang terkandung di dalam UUD 1945.
Sementara itu, budaya hukum (legal culture) adalah cita rasa hukum, kesadaran dan kristalisasi dari perasaan, penalaran masyarakat dan argumentasi yang dibuat oleh ahli hukum yang keseluruhannya merupakan subjek hukum suatu komunitas secara keseluruhan.
Antara satu dengan bagian sistem hukum lainnya, sebagaimana diuraikan di atas adalah saling terkait, saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Apabila masing-masing elemen atau bagian bekerja secara efektif dan bergerak ke arah yang positif, artinya kita telah bekerja berdasarkan sistem yang benar. Kapal telah bergerak menuju pulau impian.
Sebaliknya, apabila elemen-elemen sistem hukum tersebut lemah, tidak bekerja atau bahkan saling mengganggu, maka jangankan sampai pada pulau impian, bisa jadi kapal kita retak dan bocor di tengah perjalanan dan karam di tengah lautan.
Potret Sistem Hukum Industri Telekomunikasi
Dari perspektif sistem hukum, jika kita mencermati arsitektur industri telekomunikasi nasional maka harus diakui unsur atau elemen dari sistem hukum telah kita miliki dan berjalan. Sektor telekomunikasi telah didukung oleh sejumlah kebijakan seperti National Technical Plan/NTP 2000, RPJM (2010-2014), Renstra Kemenkominfo (2010-2014) dan yang terkini adalah White Paper Information and Communication Technology (ICT) yang disusun pada tahun 2010 oleh Pemerintah.
Dari sisi regulasi, penyelenggaraan telekomunikasi telah memiliki berbagai peraturan perundang-undangan dengan “ketentuan pokok” Undang-undang No. 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi beserta berbagai peraturan pelaksanaannya. Demikian pula dari sisi kelembagaan yang telah dibentuk, telah mengakomodir kebutuhan berbagai aspek penyelenggaraan telekomunikasi.
Namun demikian, pada tataran implementasi, kebijakan, regulasi dan kelembagaan yang ada memiliki beberapa kelemahan dalam bekerja secara sistemik dan taat pada asas dan tujuan penyelenggaraan telekomunikasi. Penguasaan industri telekomunikasi seluler misalnya, lebih didominasi oleh investor asing, yang bertentangan dengan sistem ekonomi Negara yang dianut dan dirumuskan di dalam Pasal 33 UUD 1945. Pelaksanaan USO, yang merupakan kebijakan yang sangat bermanfaat bagi masyarakat khususnya yang berada di daerah terpencil, memiliki sejumlah catatan yang kurang menggembirakan disebabkan pendekatannya lebih sebagai charity, simbolik, project-based, sehingga perangkat telekomunikasi yang diserahkan ke berbagai elemen pemerintahan di pelosok tidak berguna.
Sementara itu sejumlah peraturan perundang-undangan telekomunikasi, termasuk ketentuan yang terdapat di dalamnya masih belum konsisten, utuh, ataupun dianggap belum berkeadilan dan memberikan kepastian hukum. Hal tersebut misalnya dapat dilihat dari belum adanya peraturan perundang-undangan setingkat Peraturan Pemerintah mengenai USO, pengaturan PNBP yang diatur hanya berdasarkan Peraturan Pemerintah sementara Pasal 23A UUD 1945 telah mengamanatkan harus diatur dengan Undang-undang, serta pada tataran teknis, aturan atas ULO yang belum diterima namun tidak jelas pengaturannya, sebagaimana termuat di dalam PM No. 01 Tahun 2010.
Pada tataran praktis, kita mengetahui bahwa penyelesaian kasus sedot pulsa lebih sebagai kebijakan yang bersifat reaktif – dan kita akui sangat efektif—namun belum dilakukan berdasarkan pendekatan komprehensif dan menyeluruh. Sehingga muncul pertanyaan, bagaimana sebenarnya peran BRTI dengan segala kewenangan dan tanggungjawab yang telah dimiliknya.
Rekomendasi
Pembahasan untuk merancang arsitektur industri telekomunikasi nasional merupakan hal yang bukan saja penting tetapi sekaligus bersifat mendesak (urgent). Namun demikian, sebagaimana layaknya sebuah rumah idaman dan ideal, perancangan tersebut tentunya harus dilakukan secara tepat, terencana dan dalam satu gambaran yang utuh, dengan mempertimbangkan aspek fungsi, efektifitas serta kelengkapan antara elemen satu dengan elemen lainnya yang saling mendukung dan harmonis. Terhadap arsitektur industri telekomunikasi nasional, tantangannya utamanya akan terletak pada bagaimana membuat rancangan atas bangunan yang sudah ada, karena upaya yang dilakukan bukanlah pada ruang yang hampa.
Terkait dengan rancangan arsitektur hukum telekomunikasi, beberapa rekomendasi yang ingin disampaikan adalah:
Pertama, dibentuknya Tim Task Force Penguatan Sistem Hukum Telekomunikasi Nasional (PSHTN) di bawah BRTI dengan pelibatan para ahli hukum yang kompeten – yang dibutuhkan dalam konteks jangka panjang ;
Kedua, dilakukannya evaluasi atas kebijakan, regulasi dan kelembagaan penyelenggaraan telekomunikasi nasional oleh Tim Task Force PSHTN dengan konsultasi publik yang memadai dengan output peta jalan (roadmap) penguatan sistem hukum telekomunikasi nasional;
Ketiga, implementasi hasil roadmap PSHTN secara bertahap dan konsisten, dan
Keempat, dibentuknya Tim Adhoc untuk penanganan dan koordinasi atas kasus-kasus dan sengketa yang terjadi dalam penyelenggaraan telekomunikasi – yang dibutuhkan dalam jangka pendek. (telkomedia.com)