Anwar Ibrahim dan Prospek Hubungan Indonesia-Malaysia

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Oleh: Andi Suwirta, M.Hum

Hubungan Indonesia-Malaysia, dalam perspektif sejarah, selalu mengalami pasang-surut. Hubungan dua negara-bangsa yang masih serumpun ini – baik dilihat dari segi budaya, agama, bahasa, dan adat-istiadat – acapkali digambarkan seperti hubugan adik-kakak: ada saatnya akur dan ada saatnya juga bertengkar.

Anwar Ibrahim, mantan Perdana Menteri Malaysia dan sekarang sebagai pemimpin oposisi dalam dunia politik di Malaysia, menyatakan bahwa saat-saat kemerdekaan Indonesia dan Malaysia (1945-1957) dan saat dirinya menjadi Wakil Perdana Menteri Malaysia (1990-an), hubungan baik dan mesra antara Indonesia dengan Malaysia mengalami the golden age (zaman keemasan).

Tentu saja Anwar Ibrahim tidak menyatakan secara eksplisit peristiwa pertengkaran yang kerap melanda dua negara-bangsa penting di Asia Tenggara ini. Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1963-1966), kasus Pulau Sipadan dan Ligitan (1996), masalah Tenaga Kerja Indonesia dan saling klaim orisinalitas budaya di zaman kiwari (sekarang), sesungguhnya bisa disusur-galur ke zaman bihari (dahulu), yakni rivalitas antara Mahapatih Gajah Mada dari Kerajaan Majapahit di Jawa yang ingin mendominasi Nusantara dengan resistensi Hang Tuah, wira sejati dari dunia Melayu.

Tapi pernyataan Anwar Ibrahim dalam ceramahnya di acara “Sarasehan Nasional: Telaah Juang Pemikiran & Gerakan Dakwah Dr. Ir. M. Imaduddin Abdulrahim” di Aula Barat ITB (Instiut Teknologi Bandung) pada hari Senin, tanggal 30 Januari 2012, tentang hubungan mesra antara Indonesia-Malaysia di zaman kemerdekaan, barangkali, perlu dielaborasi dan ditambahkan.

Sejak zaman the Kaum Muda Movement (gerakan kaum muda) pada akhir abad 19 dan awal abad 20, hubungan Indonesia-Malaysia dalam konteks modernisme Islam tidak bisa dipisahkan. Bahkan gagasan-gagasan nasionalisme dan kemerdekaan, baik dari Soekarno dan Mohamad Hatta maupun dari Mohammad Yamin dan Tan Malaka disambut dan diapresiasi dengan sangat baik oleh tokoh-tokoh nasionalis di Semenanjung Tanah Melayu.

Saya kira generasi muda yang tidak belajar sejarah bangsanya, baik di Indonesia maupun di Malaysia, akan asing dengan nama tokoh nasionalis yang gandrung dengan ideologi “Melayu Raya” dan “Indonesia Raya”, yakni Ibrahim Yaacob. Tokoh nasionalis Melayu yang setelah menjadi warganegara Indonesia diubah namanya oleh Presiden Soekarno menjadi Agastya Mustafa Kamel ini wafat pada tahun 1970-an dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata di Jakarta.

Cita-cita untuk medekatkan dan menyatukan dua negara-bangsa yang dipisahkan oleh faktor kolonialisme Inggeris dan Belanda ini, dengan demikian, akan terus hidup dalam memori kolektif bangsa, baik di Indonesia maupun di Malaysia. Karena itu diperlukan seorang pemimpin masa depan yang sadar akan sejarah bangsanya dan melihat masa lalu untuk kepentingan masa kini dan masa depan dalam konteks “berdamai dengan sejarah”.

Hubungan baik Indonesia-Malaysia memang akan sangat tergantung pada niat dan kemauan mulia dari para pemimpinnya. Diperlukan pemimpin-pemimpin yang mampu memahami sejarah dan hubungan baik antara Indonesia dan Malaysia. Kalau tidak, maka akan terjadi fenomena “Hantu Komparasi” (meminjam istilah Benedict R.O’G. Anderson), yakni suatu sikap pro dan berorientasi Barat-sentris, manakala negara tetangga yang dekat dipandang sebagai ancaman dan citra yang menakutkan.

Dalam konteks hubungan Indonesia-Malaysia, fenomena “hantu komparasi” ini pernah terjadi pada masa pemerintahan Soekarno dan Tunku Abdurahman Putra (tahun 1960-an) dan juga pada masa pemerintahan Soeharto dan Mahathir Mohamad (tahun 1990-an).

Anwar Ibrahim, saya kira, adalah sosok yang dikenal luas dan baik oleh masyarakat Indonesia karena memiliki hubungan yang mesra dengan elit-elit sosial dan politik Indonesia. Beliau bukanlah tokoh hantu yang menakutkan. Tapi justru tokoh politik Melayu dari Pulau Pinang ini sejak muda (tahun 1970-an) sudah tinggal di Pekalongan untuk memahami budaya Jawa pesisiran yang egalitarian.

Sementara itu, pergaulannya dengan tokoh-tokoh HMI (Himpunan Mahasiswa Islam) pada tahun 1980-an di Indonesia mendorong dirinya untuk mendirikan ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia). Dan seperti yang dikatakannya, ketika beliau menjadi Wakil PM Malaysia maka hubungan baiknya dengan Wakil Presiden Indonesia, B.J. Habibie, pada tahun 1990-an menjadi tak terbantahkan.

Akhirnya, pertanyaan penting sekarang adalah akankah Anwar Ibrahim menjadi Perdana Menteri Malaysia di masa depan, sehingga hubungan Indonesia-Malaysia akan lebih baik daripada sekarang? Jawaban kita sederhana: biar sejarah saja yang akan mencatatnya. Wallahahu’alam.

Andi Suwirta, M.Hum. adalah Ketua Umum ASPENSI (Asosiasi Sarjana Pendidikan Sejarah Indonesia), Dosen Sejarah UPI, dan Alumni HMI Cabang Bandung tahun 1988.

Related posts