JABARTODAY.COM-BANDUNG. Secara global, umat Islam saat ini menghadapi tiga tantangan besar yakni globalisasi, modernisasi dan multikulturalisme. Globalisasi ditandai dengan interaksi antarbangsa, dunia tanpa batas, serbuan budaya asing, konflik nilai, alienasi, dominasi ekonomi, supremasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara modernisasi, umat Islam “terpaksa” mengadopsi nilai kemajuan, etos modern dan etika kerja. Namun, adaptasi terhadap kehidupan modern tanpa kehilangan identitas Islam.
Demikian disampaikan Cendekiawan Muslim, Amich Alhumami, MA., M.Ed., Ph.D. dalam “Dialog Muharram” bertajuk “Tantangan Memajukan Sains dan Ekonomi Dunia Islam” yang diselenggarakan Majelis Wilayah KAHMI Jawa Barat yang berlangsung melalui zoom, Senin (15/8/2022).
Amich mengungkapkan, selain memghadapi globalisasi dan modernisasi, umat Islam Dunia menghadapi tantangan multikulturalisme berupa keragaman budaya dan pluralitas sosial, kesediaan hidup berdampingan dalam perbedaan dan kemajemukan.
“Dalam merespons masalah-masalah kontemporer dan tantangan baru tersebut, umat Islam mesti melakukan pencapaian sains modern, keunggulan ekonomi, kesejahteraan dan kemakmuran. Bila diperlukan melakukan migrasi atau hijrah ke dunia Barat untuk mencapai kehidupan yang lebih baik,” jelas Amich yang juga Direktur Agama, Pendidikan dan Kebudayaan Bappenas RI.
Infrastruktur Riset Sains & Teknologi Modern
Doktor lulusan University of Sussex, Inggris itu juga mengemukakan urgensinya bagi negara-negara Islam menyediakan infrastruktur riset sains dan teknologi modern sebagai wahana bagi periset-periset Muslim dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
” Tantangan terbesar bagi kemajuan sains Dunia Islam adalah tidak tersedianya atau minimnya infrastruktur riset sains dan teknologi modern dan “academic milieu” sehingga tidak sedikit ilmuwan Muslim yang melakukan brain drain ke berbagai negara Barat,” ungkapnya.
Fenomena brain drain ini, jelas Amich, tentu sangat mencemaskan dan mengkhawatirkan bila negara-negara Muslim tidak segera mempersiapkan infrastruktur riset sains dan teknologi modern dan academic milieu dengan baik.
Amich juga mengingatkan bahwa keunggulan suatu negara tercermin pada penguasaan iptek, kapasitas inovasi, produktivitas ekonomi dan dana penelitian dan pengembangan (R & D). Secara umum, belanja publik untuk pengembangan iptek, termasuk kegiatan penelitian dan pengembangan serta dukungan atas aktivitas ilmiah di negara-negara Muslim masih tergolong rendah.
“Sebanyak 57 negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI mengeluarkan dana penelitian dan pengembangan sebanyak 0,81 persen saja dari GDP. Sementara negara-negara maju yang tergabung dalam OECD atau Organization for Economic Cooperation and Development sebanyak 2,3 persen dari GDP. Amerika 2,9 persen dari GDP dan Israel 4,4 persen dari GDP,” jelasnya.
Selain faktor dana, ketersediaan sumber daya manusia untuk mendukung kegiatan R&D di negara-negara Islam terbatas. “Negara-negara Islam yang tergabung dalam OKI memiliki 8,8 ilmuwan dan insinyur per 1000 penduduk. Negara-negara maju yang tergabung dalam OECD memiliki 139,3 ilmuwan dan insinyur per 1000 penduduk. Sementara negara-negara maju di luar OECD punya 40,7 ilmuwan dan insinyur per 1000 penduduk,” urainya. (ruz)