Aktivis: Sekarang Zamannya Social Entrepreneurship

Heri Wibowo, pengajar ilmu kesejahteraan sosial FISIP Unpad. (NAJIP HENDRA SP/JABARTODAY.COM)

JABARTODAY.COM – BANDUNG

Bila dulu kegiatan sosial dan bisnis berjalan masing-masing, ternyata kini tidak lagi. Kegiatan sosial bisa berjalan bersamaan dengan aktivitas bisnis. Dan, itulah yang banyak terjadi saat ini. Salah satunya contohnya adalah Sanggar Waringin, rumah sainggah bagi anak jalanan, yang memanfaatkan deretan shelter terminal Stasiun Besar Bandung.

“Orang-orang (pekerja sosial) itu muncul secara alamiah. Dia yang kemudian menyebarkan spirit, membangun impian bagi mereka yang hidup di tengah kerawanan sosial. Nah, secara akademis hal itu bisa dikelola,” kata aktivis sosial Heri Wibowo saat dimintai komentarnya mengenai keberadaan Sanggar Waringin di Jalan Stasiun Timur, Bandung, Kamis (6/9) sore.

Pengajar ilmu kesejahteraan sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Padjadjaran (Unpad) ini menguraikan, dengan social entrepreneurship atau kewirausahaan sosial, maka para pekerja sosial tidak harus lagi mengemis ke sana ke mari mencari bantuan. Para aktivis ini mengajak warga binaannya menggulirkan sejumlah modal untuk kemudian digunakan untuk menghidupi komunitasnya.

Sayangnya, tidak pihak memiliki pandangan sama tentang hal itu. Heri mengaku masih menemukan pihak-pihak yang antipati terhadap usaha tersebut. Padahal, imbuh dia, wirausaha sosial sebenarnya sudah dicontohkan Nabi Muahammad sejak lama.

“Salah satu kesulitannya adalah menyatukan ide. Dulu, kegiatan sosial yang dipadukan dengan bisnis itu dianggap melemahkan kegiatan sosial itu sendiri. Padahal sesungguhnya tidak demikian. Inilah yang saya perkenalkan kepada mahasiswa agar mereka lebih mengenal permasalahan sosial,” terang Heri.

Mulai tahun ini, Heri mengajak mahasiswanya untuk melakukan praktik social entrepreneurship di Sanggar Waringin. Mahasiswa akan berinteraksi dan terlibat langsung dengan warga binaan yang sebagian besar merupakan anak jalanan selama enam bulan. Siklus ini terus bergulir setiap enam bulan atau per semester.

“Sekarang orang sudah mulai peduli dengan aspek sosial. Orang sudah memperhitungkan aspek spiritual. Misalnya, ada orang yang hanya mau membeli suatu produk bila perusahaan tersebut menyalurkan CSR (corporate social responsibility). Bila tidak, dia tidak mau membeli. Sekarang pilihan produk makin banyak, jadi bisa beralih ke yang lain,” Heri mencontohkan.

Contoh lainnya, sambung Heri, dulu banyak perusahaan melarang karyawannya salat dhuha karena dianggap mengganggu waktu kerja. Sekarang banyak yang justru menganjurkan. “Aspek spiritual itu penting. Salat dhuha itu tidak mengganggu waktu, tetapi justru membangun spiritual karyawan untuk kemudian memicu produktivitas kerja,” paparnya.(NJP)

Related posts