Akreditasi Prodi Tidak Islami

Ketua Aptisi Wilayah IV A, Dr. H. M. Budi Djatmiko, saat berbicara dalam Silaturahmi Idul Fitri 1433 H Aptisi Wilayah IV A, ABPPTSI Jabar-Banten, dan Kopertis Wilayah IV, di Aula Aptisi Wilayah IV A, Jl. Soekarno-Hatta Bandung, Selasa (4/9). (DEDE SUHERLAN/JABARTODAY.COM)

JABARTODAY.COM – BANDUNG

Ketua Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (Aptisi) Wilayah IV A, Dr. H. M. Budi Djatmiko, menilai akreditasi progam studi (prodi) yang dijalankan oleh Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT) tidak Islami. Itu dilihat dari tidak adilnya penerapan program itu.

Menurut Budi, ketidakadilan penerapan BAN PT terlihat dari ditetapkannya standar yang sama dalam mengakreditasi PT. BAN PT, kata dia, menyamaratakan semua PT dalam memberlakukan program itu.

“Ketidakadilan itu antara lain bisa dilihat saat BAN PT menerapkan akreditasi bagi ITB yang lahir pada 1920, Unpas yang lahir pada 1969, dan  Stikes Dharma Husada yang lahir pada 1999 dengan standar yang sama. Padahal, dilihat dari lamanya operasionalisasi PT-PT itu, ketiganya jelas memiliki kesiapan yang berbeda dalam menjalankan program akreditasi,” kata Budi saat berbicara dalam Silaturahmi Idul Fitri 1433 H Aptisi Wilayah IV A, Asosiasi Badan Penyelenggara Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (ABPPTSI) Jabar-Banten, dan Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta (Kopertis) Wilayah IV, di Aula Aptisi Wilayah IV A, Jl. Soekarno-Hatta Bandung, Selasa (4/9).

Budi mengungkapkan, akibat sangat sulitnya menyelesaikan akreditasi, agenda penyelesaian akreditasi yang ditetapkan oleh BAN PT pada 4 Maret 2011 tidak dapat tercapai. Bahkan, pada 16 Mei lalu tersisa sebanyak 6.000 prodi yang belum diakreditasi.

Pada kesempatan sama Ketua ABPPTSI Wilayah IV, Drs. H. Sali Iskandar menuturkan, sepanjang tidak mengungkit-ungkit keberadaan yayasan, ABPPTSI tidak akan mempersoalkan UU yang dikeluarkan oleh pemerintah.

“Jika yayasan dipersoalkan, ABPPTSI akan berjuang secara all out,” kata Sali.

Sementara itu, Koordinator Kopertis Wilayah IV, Prof. Dr. Abdul Hakim, mengatakan, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah memang belum sempurna. Kendati begitu, masyarakat harus menyikapinya secara bijak.

“Jika dalam UU PT yang ditetapkan pada 10 Agustus lalu misalnya terdapat 10 % kekurangan, jangan serta-merta kita menghilangkan 90 % kelebihan dari UU itu,” tandas Hakim. (DEDE SUHERLAN)

Related posts