Insiden Pak Presiden

ilustrasi tempo

M. Rizal Fadillah

Dalam salah satu acara “berhadiah sepeda” RNPK di Jiexpo Kemayoran, Presiden membuat kuis pertanyaan kepada anak di depan untuk menyebut nama-nama ikan. Disebutkanlah yang salah satunya keliru karena menyebut ikan tongkol menjadi ikan…he hee.

Dalam acara hampir serupa di tempat dan waktu lain ada orang tua diberi kuis pertanyaan untuk menyebut nama  Presiden Indonesia yang berdiri di sebelahnya. Ternyata ia tak tahu nama Presiden itu…he hee.

Ketika panen ikan bersama petambak udang Muara Gembong Bekasi, Presiden ikut menarik jala. Hasilnya Presiden dipatil udang..he hee.

Saat berkunjung ke Pesantren di Rembang Kyai Ma’mun Zubeir memimpin do’a di sebelah Presiden lalu dalam do’a Kyai memohon agar Allah menjadikan pemimpin negara adalah Pak Prabowo…he hee.

Di Surabaya MC di hadapan Presiden di samping memberi gelar Jokowi dengan “cak” juga “jancuk”. Ternyata “jancuk” itu ucapan kotor arek Suroboyo. Sejarah “jancuk” adalah bersetubuh yang disaksikan orang banyak…he hee.

Insiden yang lebih serius dari Pak Presiden yang tidak bisa kita tertawa atau tersenyum antara lain adalah tidak tahu Peraturan Presiden (Perpres)  yang ditandatanganinya sendiri “I don’t read what I sign“,  mau “tabok” penyebar PKI, soal glukosa yang salah,  meminta pendukung untuk siap berkelahi, keberadaan konsultan asing, meralat  pembebasan Baa’syir, memuji “Ratu Hoax” Ratna Sarumpaet, dan yang terakhir menuduh propaganda Rusia.

Kita sebut hal-hal di atas sebagai beberapa insiden. Terhadap kejadian yang berulang tentu menimbulkan pertanyaan, adakah yang salah dalam langkah? Sebagai seorang Muslim jika tersandung batu ia mesti segera beristighfar, kalau kalau ini merupakan teguran Allah. Khawatir jika terjadi musibah yang  lebih besar, jatuh dan kepala terbentur batu. Lebih parah akibatnya.

Untuk satu atau dua kali kesalahan yamg dilakukan Presiden tentu dinilai wajar saja. Tapi  jika sering berarti sudah menjadi suatu kebiasaan. Sebagai Kepala Negara kebiasaan itu bisa menjadi Konvensi atau kebiasaan ketatanegaraan. Kata seorang pengamat jika demikian tentu menjadi tidak lucu. Konvensi kok ada yang jelek-jelek.

Bila kita menganut sistem Parlementer, Presiden yang sering mengalami insiden dalam pemerintahan niscaya akan mudah jatuh. Rakyat melalui parlemen mudah mendesak untuk impeachment. Sebenarnya dengan multy party system dan adanya pola “koalisi partai politik” kita sadar atau tidak telah menjalankan salah satu ciri dari sistem pemerintahan parlementer.

Tetapi karena nyatanya kita menganut sistem Presidensial, maka kedudukan Presiden menjadi sangat kuat. Persoalannya adalah jika kita punya Presiden yang lemah dan tak berwibawa dimana insiden demi insiden terjadi maka terpaksa harus  menunggu proses Pilpres ke depan. Perundang-undangan sebenarnya mengatur lembaga impeachment, tapi syarat dan prosedurnya sangat berat.

Presiden yang sering membuat insiden layak juga disebut Presiden insidental. Bukan yang permanen. Karenanya jika ada kegoyahan publik mengenai kelayakan untuk tetap memimpin, mesti disikapi dengan lapang dada. Rasanya dicukupkan saja.

Dengan mengurut dada,  publik yang kecewa hanya bisa bergumam, memang Bapak juga dahulu sebenarnya terpilih karena insiden “elected by accident“. Maklum manusia kan bisa salah. Salah pilih!

Bandung, 7 Februari 2019

Related posts