Menimba Kearifan Politik dari AM Fatwa

Oleh: Fathorrahman*

Pengaruh seorang guru pada muridnya kerapkali membekas pada diri seseorang. Tak pelak lagi juga terjadi pada diri politikus cerdik nan santun Andi Mappatehang Fatwa. Ia sangat mengenang nasihat gurunya, M. Natsir, Mr. Kasman Singodimedjo, Prawoto Mangkusasmito dan tokoh-tokoh Masyumi lainnya.

Hari ini, Kamis 14 Desember 2017, sang pemberani itu telah meninggalkan kita semua untuk selamanya. Namun nama beliau tak mungkin bisa dihapus begitu rupa oleh sejarah.

Dari tangannya telah meluncur sejumlah buku, berisi buah pikir, keprihatinan, serta kisah-kisah perjuangannya semasa Orde Baru, hingga lukisan penderitaan yang beliau alami semasa rezim otoritarian itu berkuasa. Kisahnya dibalik jeruji penjara ikut memberi warna pada kehidupan Fatwa.

Dalam sejarah politik Indonesia, tidak banyak kita temukan orang pemberani dan berintegritas seperti Fatwa, begitu lelaki yang tutup usia dalam 78 tahun itu disapa. Fatwa memiliki lingkungan pergaulan yang luas. Talentanya sebagai aktivis pejuang, membuatnya sangat dikenal dipentas nasional. Sejak muda Fatwa aktif di PII, GPII, HMI, Muhammadiyah, KAHMI, hingga sejarah menentukan nasibnya duduk di senayan sebagai Anggota DPR RI, dengan sederet jabatan mulai Wakil Ketua DPR RI, Wakil Ketua DPD RI, Ketua Dewan Kehormatan DPD dan seabrek aktivitas lainnya.

Reformasi memang mengubah segalanya. AM Fatwa juga terbilang sosok yang memiliki kontribusi besar dalam menggelindingkan roda sejarah yakni dimasa-masa reformasi. Fatwa juga terlibat intens pada pendirian Partai Amanat Nasional (PAN) bersama Amien Rais kala itu. Fatwa pula yang menguatkan ide tentang istilah “Nasional” pada nama Partai besutan bapak reformasi Prof. Dr. Amien Rais itu.

Istilah “Saudaraku”  yang melembaga dalam sapaan sesama kader PAN, juga merupakan ide beliau bersama-sama dengan kolega-koleganya di partai reformis itu. Fatwa juga berhasil membawa Zukifli Hasan ke puncak singgasana tertinggi kekuasaan, MPR.

Dari bisik-bisik kawan dilingkungan Partai Amanat Nasional, yang kemudian saya konfirmasi ke beliau sendiri, ia mengakui bahwa Zulkifli Hasan adalah kadernya. Dialah yang membawa dan memperkenalkan sang Ketua MPR itu ke pentas politik nasional. Adalah wajar, jika di akhir hayatnya, Ketua MPR itu harus ikut memikul keranda jenazahnya, sekaligus jadi inspektur upacara pemakaman beliau.

Dalam konteks hubungan Zulkifli Hasan dengan AM Fatwa, saya teringat buku leadership karya  John C Maxwell & Jim Dornan, “Becoming a Person of Influence”.  Menurut buku itu, untuk menjadi orang yang berpengaruh, kita harus melipatgandakan kemampuan kita dalam mementori orang lain, memotivasi orang lain, dan menjadi model untuk orang lain. Dan, Fatwa sukses untuk itu. Oleh karena itu, ia mendapatkan atensi dan kekaguman yang massif.

***

A.M.Fatwa bersama Dian Islamiyati Fatwa (putrinya)

Dari banyak pengakuan kawan dan lawan politiknya, Fatwa adalah sosok yang intelek dan pandai menulis, juga pandai berbicara. Pada dirinya ada “balancing” yang tak banyak dimiliki pada diri politisi lainnya. Kegemarannya menulis membuat sosok yang satu ini terasa hadir dalam dunia.

***

Banyak sekali buah pikirnya tulisnya tersebar dalam banyak bentuk; mulai liputan media, pendapat hingga buku. Dari buah pikirannya telah lahir 29 buku, yaitu: Dulu Demi Revolusi, Kini Demi Pembangunan, eksepsi di pengadilan (1985), Demi Sebuah Rezim, Demokrasi dan Keyakinan Beragama Diadili, pembelaan di pengadilan (1986, cetakan kedua 2000), Saya Menghayati dan Mengamalkan Pancasila Justru Saya Seorang Muslim, pidato pada acara pembebasan di penjara Cipinang (1994), Islam dan Negara (1955).

Ada juga buku Menggugat dari Balik Penjara (1999), Dari Mimbar ke Penjara (1999), Satu Islam Multipartai(2000), Demokrasi Teistis (2001), Otonomi Daerah dan Demokratisasi Bangsa (2003), Kampanye Partai Politik di Kampus (2003), PAN Mengangkat Harkat dan Martabat Bangsa(2003), Dari Cipinang ke Senayan (2003), Catatan dari Senayan (2004), Problem Kemiskinan, Zakat sebagai Solusi Alternatif (bersama Djamal Doa dan Aries Mufti, 2004), PAN Menyongsong Era Baru, Keharusan Reorientasi (2005), Pengadilan HAM Ad Hoc Tanjung Priok: Pengungkapan Kebenaran untuk Rekonsiliasi Nasional (2005), Menghadirkan Moderatisme Melawan Terorisme (2006 & 2007).

Juga buku  Khutbah-Khutbah Politik AM Fatwa di Masa Orde Baru (2007), Satu Dasawarsa Reformasi-Antara Harapan dan Kenyataan(2008), Grand Design Penguatan DPD RI (2009), Potret Konstitusi Pasca Amandemen UUD 1945 (2009), Pendidikan Politik Bernegara dengan Landasan Moral dan Etika(2009). Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa Bukan Hak Paten Suatu Golongan (2010).

Transisi Demokrasi di Atas Hamparan Korupsi: Buah Pikir Reflektif Atas Carut Marut Reformasi (2013), Meretas Jalan Membentuk Karakter (2013). Mobil Murah dan Kemacetan Jakarta (2014). Mengatasi Banjir Jakarta: Diangkat dari Dialog Bersama Warga(2015), Pahlawan Nasional KH Noer Alie (2016), Menggugat Kereta Cepat Api Jakarta-Bandung (bersama Ayi Hambali, 2017).

***

Lelaki pemberani itu terlahir di Bone,  12 Februari 1939 dari keturunan keluarga Kerajaan Bone. Sejak muda ia menjadi simbol perlawanan dan sikap kritis terhadap rezim otoriter Orde Lama dan Orde Baru. Sikap kritisnya itu membuatnya menjadi sasaran teror. Namun Fatwa bukan pribadi yang penakut, teror baginya adalah asam garam kehidupan.

 

Namun sikap kritisnya itu diganjar vonis 18 tahun penjara, dari tuntutan seumur hidup. Ia menjalani hukuman penjara efektif 9 tahun, lalu tahanan luar, yang jika diakumulasi menghabiskan waktu selama 12 tahun.

Apakah Fatwa lantas memendam dendam pada Soeharto?

Ternyata tidak. Ketika gelombang reformasi bergulir, dan rezim Soeharto pun tumbang, Fatwa dikabarkan sering berjumpa dengan keluarga Cendana. Ia juga diberitakan pernah mencium kening Soeharto sebagai tanda ia telah memaafkan dan tidak menyimpan dendam.

Mengapa ia bersikap demikian? Hal itu dilakukan karena semata-mata ada nasihat para gurunya terutama Pak Natsir. “Dalam perkara politik, kita tidak boleh dendam”, begitu nasihat Pak Natsir padanya yang ia selalu kenang. Dan, kini Fatwa pun pergi bersama kenangan itu.***

*Penulis adalah Dosen Universitas Pamulang

Related posts