Ekonomi Indonesia dalam Jepitan Perekonomian Global

Oleh: Anthony Budiawan

Tahun 1960-an hampir semua negara di Asia termasuk negara miskin. Perang Korea (1950-1953) membawa “berkah” kepada perekonomian Jepang yang sempat diisolir oleh pihak Sekutu, dimotori Amerika Serikat. Untuk mendukung Korea Selatan dari ancaman komunis Korea Utara, Amerika minta Jepang mengaktifkan kembali industri beratnya untuk mendukung perang di Korea.

Sejak itu, perekonomian Jepang meningkat selama hampir empat dekade sampai akhir 1980an, dan menjadi negara dengan ekonomi terbesar kedua dunia

Pada tahun 1980-an juga muncul kekuatan ekonomi baru di Asia yang dikenal dengan Empat Macan Asia (Four Asian Tigers), terdiri dari Hong Kong, Singapura, Korea Selatan, dan Taiwan. Pertumbuhan ekonomi Empat Macan Asia ini sangat tinggi sejak awal 1960-an hingga akhir abad ke-20, dan masih berlanjut cukup tinggi hingga kini. Alhasil, mereka sekarang sudah termasuk negara dengan pendapatan tinggi.

Tahun 2016, pendapatan per kapita (diukur berdasarkan Gross National Income: GNI) Singapura sudah mencapai 51.880 dolar AS, Hong Kong 43.240 dolar AS, Korea Selatan 27.600 dolar AS. Sedangkan pendapatan GNI per capita Indonesia masih tertahan di 3.400 dolar AS saja. Jadi, selama lima puluh tahun ini Indonesia sudah jauh tertinggal dari Empat Macan Asia tersebut.

Tahun 1980-an, China masih termasuk negara miskin. Melalui reformasi ekonomi tahun 1978, China bangkit dari kemiskinan. Reformasi ekonomi China menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang juga mencengangkan dunia, dan dalam sekejap meninggalkan Indonesia yang masih terus berkutat dengan kemiskinan. Pendapatan GNI per capita China tahun 1980 hanya 220 dolar AS saja, kurang setengahnya dari GNI per capita Indonesia (470 dolar AS).

Tetapi, tahun 2016 keadaan sudah terbalik, GNI per capita China sudah mencapai 8.260 dolar AS, atau 2,43 kali lipat Indonesia (3.400 dolar AS). Ironis sekali. Negara komunis yang awal ekonominya porak poranda akibat perencanaan ekonomi terpusat (central planning) dapat dengan cepat dan mudah melakukan transformasi ekonominya menjadi kekuatan dunia.
Sekitar satu dekade kemudian, Vietnam yang juga negara komunis mulai melakukan reformasi ekonomi mengikuti China. Pertumbuhan ekonomi Vietnam setelah reformasi ekonomi juga cukup tinggi. Seperti pelari lomba marathon, Vietnam terus membuntuti dan mendekati Indonesia tanpa lelah.

Mungkin Indonesia yang akan kelelahan dan akan tersalip oleh Vietnam dalam waktu yang tidak lama lagi. Tahun 1991, pendapatan per kapita Vietnam yang diukur berdasarkan GNI hanya 110 dolar AS (Indonesia 610 dolar AS). Dan tahun 2016 GNI per capita Vietnam sudah mencapai 2.050 dolar AS, sedangkan Indonesia hanya naik menjadi 3.400 dolar AS. Jadi, perlahan tetapi pasti, ekonomi Indonesia akan tersalip oleh Vietnam apabila tren ini berlanjut terus.

Yang mencengangkan, ekonomi (GNI) Vietnam yang besarnya hanya sekitar 20 persen dari GNI Indonesia, GNI Vietnam 190,86 miliar dolar AS vs Indonesia 900,69 miliar dolar AS, ternyata nilai ekspornya bisa melebihi ekspor Indonesia. Ekspor Vietnam 2016 mencapai 173,31 miliar dolar AS, sedangkan ekspor Indonesia 172,35 miliar dolar AS.

Dalam prosentase, ekspor Vietnam terhadap PDB (di sini kita gunakan Produk Domestik Bruto) mencapai 93,62 persen dan Indonesia hanya 19,08 persen.

Jadi, Vietnam yang merupakan kekuatan ekonomi baru di Asia Tenggara mampu memacu ekonominya bersaing dengan Indonesia di pasar internasional.
Sebagai penutup, Indonesia yang pada tahun 1960-an dan 1970-an bersaing dengan Empat Macan Asia kini sudah tertinggal jauh.

Pada tahun 1980-an hingga akhir abad ke-20 Indonesia yang bersaing dengan China kini juga sudah tertinggal jauh. Indonesia kini bersaing dengan Vietnam, apakah akan tertinggal juga? Kapan? Kemudian, negara mana lagi yang akan bersaing dengan Indonesia dua puluh tahun mendatang ketika negara-negara tersebut di atas sudah menjadi negara maju? Myanmar? Sungguh menyedihkan! Atau kita perlu terhibur ternyata Indonesia ditemani oleh Filipina yang menjadi “kawan setia” di dalam ketertinggalan ini?

Semoga pemimpin-pemimpin mendatang dapat membuat keajaiban dalam pembangunan ekonomi Indonesia. Sehingga Indonesia bukan hanya dikenal sebagai negara besar dalam jumlah penduduk saja, tetapi rakyatnya tetap miskin terus. (Penulis adalah Managing Director Politic Economy and Policy Studies -PEPS dan Mantan Rektor Kwik Kian Gie School of Business and Management)

Related posts