JABARTODAY.COM- Keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seringkali membuat negara sebagai pemilik saham mayoritas merugi. Kinerjanya seringkali dituduh sebagai badan usaha yang tidak efisien dan memiliki profit yang rendah. Kondisi tersebut disinyalir karena BUMN seringkali dikelola secara tidak profesional, dan seringkali menjadi sapi perahan para penguasa tertentu.
Oleh karena itu dibutuhkan audit investigatif yang bersifat independen untuk mengetahui kemungkinan adanya kerugian akibat perbuatan melawan hukum, niat jahat (mean rea) atau karena penyalahgunaan wewenang.
Pandangan tersebut disampaikan Dr. Susanto saat mempertahankan disertasi doktornya dalam sidang terbuka Program Doktor Ilmu Hukum di Universitas Jayabaya, Jakarta, pada 8 Mei 2018.
Disertasi yang berjudul “ Fungsi Audit Investigatif Terhadap Kekayaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Persero dalam Rangka Menghitung Kerugian Negara” itu berhasil dipertahankannya dengan nilai Cumlaude.
“Audit investigatif itu penting dilakukan agar diketahui apakah kerugian tersebut terjadi akibat tindakan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang,” jelasnya.
Menurut Susanto, apabila terjadi kerugian negara dalam BUMN, seharusnya dibuka kemungkinan masuknya tim independen untuk melakukan audit investigatif guna menyelamatkan keuangan negara.
Selama ini BUMN terdiri dari tiga bentuk badan hukum perusahaan yaitu Perusahaan Umum (Perum), Perusahaan Terbatas Perseroan (PT Persero) dan Perusahaan Terbatas Perseroan Terbuka (PT Persero Tbk).
Susanto menjelaskan, sejauh ini BUMN yang ada mengalami beberapa masalah utama mulai in-efisensi karena kinerjanya yang buruk, tidak responsiof terhadap kebutuhan publik, kurangnya dana, intervensi vertikal dari pemerintah yang berlebihan, dualisme tujuan BUMN yang bertentangan, hingga pemanfaatan aset.
“Semua masalah tersebut membuat BUMN merugi, namun untuk mengetahui secara persis apa penyebab yang sebenarnya diperlukan audit investigatif,” jelasnya.
Audit investigatif, lanjut Susanto diperlukan dalam sistem hukum poembuktian di Indonesia yaitu sebagai keterangan saksi, alat bukti surat, alat bukti keterangan ahli, bukti petunjuk, dan alat bukti keterangan terindikasi/terduga.
Susanto menyarankan pentingnya langkah harmonisasi perumusan keuangan negara dan kekayaan negara yang dipisahkan dalam UU No. 17 Tahun 2003 Tentang Keuangan Negara, UU No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara, UU No. 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara, dan UU No. 31 Tahun 199 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Harmoni UU tersebut diperlukan agar keempat UU tersebut bisa saling mengisi dan tidak saling meniadakan,” jelasnya (Fatur)