”Di Indonesia, Justice Collaborator itu Sangat Penting” 

Pada beberapa kasus hukum yang melibatkan konspirasi besar, terutama yang melibatkan oknum pejabat dilevel eksekutif, legislatif, dan yudikatif;  peran dari Justice Collaborator (JC) itu sangatlah penting. Namun perlu diingat JC itu bukanlah orang yang menjadi pemain utama dari konspirasi itu. Sedangkan basis perlindungannya secara hukum berada dibawah kewenangan LPSK dan bukan dari penegak hukum itu sendiri. Bagaimana sesungguhnya peran JC itu dalam UU? Seberapa besar pengaruhnya dalam mengungkap kebenaran? Ikuti perbincangan redaktur senior Jabartoday.com, Fathorrahman Fadli bersama Anggota Komisioner LPSK Edwin Partogi berikut ini:

 

Anggota Komisioner LPSK, Edwin Partogi, SH (dok.istimewa)

Apa catatan penting anda soal keberadaan Justice Collaborator dalam beberapa kasus korupsi di Indonesia?

Sebelum bicara bagaimana di Indonesia, saya ingin berbicara dulu soal konsep agar duduk persoalannya menjadi jelas. Juga seberapa penting posisi Justice Collaborator itu dalam konteks pengungkapan kasus mega skandal yang melibatkan banyak oknum dalam suatu negara.

Secara konseptual,  Justice Collaborator (JC)  itu sejatinya adalah saksi pelaku yang mau diajak bekerja sama untuk memberikan keterangan yang diperlukan guna mengungkap suatu kasus hukum. Di Indonesia, dimana kasus-kasusnya selalu melibatkan banyak oknum mulai legislatif, eksekutif bahkan yudikatif, maka keberadaan JC itu menjadi sangat penting sekali. Dalam konteks ini, maka keselamatan pada diri saksi yang diberi status JC itu harus dilindungi baik secara fisik maupun mentalnya.

Mengapa mesti demikian?

Memang peraturan menghendaki mereka harus diperlakukan demikian. Bukan istimewa, namun begitulah prosedur hukum yang seharusnya diberikan untuk seorang saksi pelaku yang berstatus Justice Collaborator tersebut. Saksi ini harus berada dalam keadaan normal jiwanya, tidak labil, dan tidak sedang berada dalam tekanan. Disinilah peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) itu harus bekerja secara optimal sesuai perintah aturan dan hukum yang berlaku.

Dimana posisi Justice Collaborator itu diatur secara lebih rinci?

Masalah Justice Collaborator itu telah diatur dalam UU No.31 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No.13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang tertuang dalam pasal 10, pasal 10 A, dan pasal 28 ayat

Edwin Partogi dalam suatu acara diskusi (dok. istimewa)

Bagaimana bunyi pasal 10 itu mengatur Justice Collaborator?

Pada Pasal 10A disebutkan sebagai berikut: “(1) Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan. Sedang pada ayat berbunyi (2) Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: a. pemisahan tempat penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka, terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya; b. pemisahan pemberkasan antara berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan, dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/atau c. memberikan kesaksian di depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya.

Namun faktanya banyak juga orang yang tidak mau menjadi saksi untuk sebuah kejahatan, apa perlindungan hukum bagi saksi ketika dia berani?

Sebenarnya UU sudah mengaturnya, namun karena banyak orang tidak tahu jadi mereka ketakutan. Dalam pasal 10 UU No.31 tahun 2014 itu juga diatur dengan baik. Dalam Pasal 10  ayat 1 dijelaskan bahwa  “Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor tidak dapat dituntut secara hukum, baik pidana maupun perdata atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikannya, kecuali kesaksian atau laporan tersebut diberikan tidak dengan iktikad baik. Sedang dalam pasal 2 disebutkan bahwa  “Dalam hal terdapat tuntutan hukum terhadap Saksi, Korban, Saksi Pelaku, dan/atau Pelapor atas kesaksian dan/atau laporan yang akan, sedang, atau telah diberikan, tuntutan hukum tersebut wajib ditunda hingga kasus yang ia laporkan atau ia berikan kesaksian telah diputus oleh pengadilan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”

Seperti apa penghargaan yang mesti diberikan negara pada saksi pelaku yang berstatus Justice Collaborator itu?

Memang Undang-Undang sudah mengatur dengan baik apa saja penghargaan yang mesti diberikan oleh Negara atas kesaksian JC itu. Penghargaan itu ada beberapa, mulai keringanan penjatuhan pidana; pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.

Dalam konteks perlindungan saksi pelaku ini, apa saja kewenangan yang diberikan kepada LPSK?

Terus terang saya senang sekali Anda bertanya seperti itu, sehingga peran LPSK menjadi semakin jelas dan dapat diketahui publik dengan baik. Karena banyak juga oknum  aparat hukum yang belum sepenuhnya memahami posisi LPSK ini dalam konteks penegakan hukum. Dalam UU No.31 Tahun 2014 yaitu pasal 12A kewenangan LPSK itu terdiri atas hal-hal berikut ini. Pertama, meminta keterangan secara lisan dan/atau tertulis dari pemohon dan pihak lain yang terkait dengan permohonan; Kedua,  menelaah keterangan, surat, dan/atau dokumen yang terkait untuk mendapatkan kebenaran atas permohonan; Ketiga, meminta salinan atau fotokopi surat dan/atau dokumen terkait yang diperlukan dari instansi manapun untuk memeriksa laporan pemohon sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; Keempat, meminta informasi perkembangan kasus dari penegak hukum.

Apa misalnya kewenangan lain yang diberikan UU No.31 Tahun 2014 itu kepada LPSK?

Dalam Pasal 12A, LPSK juga berwenang untuk mengubah identitas terlindung sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, mengelola rumah aman (safe house),  memindahkan atau merelokasi terlindung ke tempat yang lebih aman,  melakukan pengamanan dan pengawalan,  melakukan pendampingan Saksi dan/atau Korban dalam proses peradilan, serta melakukan penilaian ganti rugi dalam pemberian Restitusi dan Kompensasi.

Bisa Anda jelaskan apa saja kriterianya agar saksi pelaku itu layak mendapatkan perlindungan dari LPSK?

Menurut pasal 28 UU No.31 Tahun 2014 ada sejumlah prasyarat penting. Pertama, tindak pidana yang akan diungkap merupakan tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Kedua, sifat pentingnya keterangan yang diberikan oleh Saksi Pelaku dalam mengungkap suatu tindak pidana. Ketiga,  bukan sebagai pelaku utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya. Keempat, kesediaan mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan dan dinyatakan dalam pernyataan tertulis. Kelima, adanya ancaman yang nyata atau kekhawatiran akan terjadinya Ancaman, tekanan secara fisik atau psikis terhadap Saksi Pelaku atau Keluarganya jika tindak pidana tersebut diungkap menurut keadaan yang sebenarnya. Jadi UU sudah mengatur secara sangat detil siapa saja yang layak jadi saksi pelaku, jadi bukan karena dibuat-buat.

Wow, kok powerfull betul ya LPSK ini?

Hahahhaaha,….bukan disitu masalahnya Bung, tapi itulah Undang-Undang mengatur cara kerja LPSK berdasarkan hukum sebagaimana diatur dalam UU No. 31 Tahun 2014 itu tadi. Kita hanya ingin memperjelas bahwa posisi LPSK itu betul-betul penting dalam konteks penegakan hukum. Bahkan LPSK itu juga berhak memberikan pertimbangan dan masukan kepada hakim atas hukuman yang akan diberikan kepada seseorang JC, dan hakim diharap memperhatikan sungguh-sungguh rekomendasi LPSK yang dimuat dalam tuntutan penuntut umum.

Kita bicara soal Safe House, beberapa waktu lalu saat ribut-ribut soal Angket KPK, sempat muncul isu KPK punya Safe House, bagaimana Anda melihat hal itu?

Begini ya, kami ini bekerja atas dasar Undang-Undang yang ada saja. Sejauh yang saya tahu dan saya baca Undang-Undang yang ada, posisi safe house itu berada pada LPSK dan Kemensos khusus untuk korban KDRT, bukan di tempat lembaga penegakan hukum yang lain. Dalam UU KPK memiliki kewajiban untuk melindungi saksi dan pelapor, namun pengaturan soal safe house tidak ada di UU KPK

Apakah status Justice Collaborator itu bisa diberikan kepada pelaku utama?

Tidak bisa.

 Mengapa demikian?

Karena pelaku utama adalah orang yang harus diselidiki dan bila benar mereka bersalah harus dihukum sesuai ketentuan hukum yang ada. Jadi status Justice Collaborator itu tidak boleh diberikan pada pelaku utama, karena merekalah yang biasanya membuat skenario atas kejahatan yang sedang dilakukan. Jadi tidak logis secara hukum jika status Justice Collaborator itu diberikan kepada pelaku utama.

Bagaimana dengan isu yang berkembang soal Nazarudin yang dikabarkan menjadi Justice Collaborator dalam beberapa kasus besar itu?

Nazarudin ketika menjadi tersangka di KPK lebih dari 3x mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK. Namun, ketika LPSK tanyakan kepada KPK apakah Nazarudin miliki status JC? Jawab KPK ketika itu Nazarudin tidak miliki status JC. Bila kemudian Nazarudin diberi status JC, hal itu diluar pengetahuan LPSK.  Hanya kembali perlu diingat bahwa status JC diberikan kepada saksi pelaku yang mau bekerjsama, bukan pelaku utama, mau mengembalikan asset dari kejahatannya kepada Negara, dan di dasarkan dengan itikad baik. Itikad baik yang dimaksud yaitu keterangan yang bukan keterangan palsu, sumpah palsu dan permufakatan jahat. Bila dirasa janggal atas pemberian JC tersebut, silakan masyarakat menilai. Hanya saja perlu saya kami ingatkan kepada KPK, Polri, BNN, Kejaksaan, Menteri Hukum dan HAM cq  Dirjen Pemasyarakatan, bahwa bila merujuk kepada UU 31 Tahun 2014, pemberian reward (penghargaan) kepada JC haruslah memperhatikan rekomendasi dari LPSK, bukan instansi yang lain. Ini perintah UU loh.

***

Related posts